PENDEKATAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah
PENDIDIKAN ANAK DI SD
Yang dibimbing oleh:
Dosen: Drs. H. Zainuddin, M.Pd
Disusun Oleh:
Utami Rukmaliani (F37012031)
Kelas: 5A Reguler A
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN PENDIDIKAN DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2014
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke
Hadirat Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat dan Hidayah-Nya
kepada kita, dan
tidak lupa pula
kami mengucapkan Do’a
beserta salam kepada
Nabi junjungan kita
yakni Nabi Muhammad
SAW yang telah
membawa kita dari
alam yang tidak
berpendidikan ke alam
yang berpendidikan, seperti yang
dapat kita rasakan
sekarang ini.
Tidak lupa pula kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang terkait dan membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, yakni:
1.
Tuhan Yang Maha Esa
2.
Drs.
H. Zainuddin, M.Pd selaku Dosen Mata Kuliah Pendidikan Anak di SD.
3.
Orang tua saya yang
selalu mendukung.
4.
Teman-teman yang selalu
dukungan, kritikan, dan saran.
Kami menyusun Makalah Pendekatan Pembelajaran di Sekolah Dasar
ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen Mata Kuliah Pendidikan Anak di SD
dan agar bisa dimanfaatkan ke arah yang lebih baik bagi pembacanya.
Dalam penulisan Makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki, maka dari itu kami senantiasa menerima
kritikan dan saran dari pembaca Makalah ini.
Pontianak, 10
November 2014
Kelompok 10
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
..................................................................................... i
DAFTAR ISI
................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A.
Latar Belakang
......................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah
.................................................................... 1
C.
Tujuan Penulisan
...................................................................... 2
D.
Manfaat Penulisan
.................................................................... 2
BAB II PENDEKATAN
PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR .........
3
A.
Pendekatan
Pembelajaran Holistik dan Kontruktivisme
......... 3
1.
Pengertian
Pendekatan Pembelajaran .............................. 3
a.
Pendekatan holistik
................................................ 4
b.
Pendekatan
kontruktivisme .................................... 6
B.
Pendekatan
Pembelajaran Experiential Learning dan Multiple
Intelligence ................................................................................
10
1.
Pendekatan
Experiential Learning .................................... 10
2.
Pendekatan Multiple
Intelligence .................................... 13
BAB III PENUTUP
........................................................................................ 21
A.
Kesimpulan
.............................................................................. 21
B.
Saran
........................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA
..................................................................................... iii
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Arus
globalisasi yang semakin canggih saat ini sangat memberikan peluang yang besar
kepada setiap individu, termasuk di dalamnya siswa Sekolah Dasar, untuk
mengakses berbagai informasi dengan mudah. Melalui informasi tersebut, mereka
dapat belajar banyak tentang berbagai hal yang dibutuhkannya.
Fenomena
ini tidak berarti akan menggeser posisi guru dalam proses pembelajaran, justru
peran guru akan semakin penting. Gurulah yang memiliki posisi strategis untuk
mengorganisasikan siswa, menyeleksi informasi yang penting, dan mengolah pesan
sehingga tercipta suasana yang dapat menimbulkan keinginan dalam diri siswa
untuk melakukan aktivitas belajar. Sehingga guru dituntut untuk menguasai
berbagai pendekatan pembelajaran.
Pendekatan
pembelajaran sendiri memiliki arti suatu sudut pandang tentang proses
pembelajaran yang masih dalam arti umum yang di dalamnya dapat mewadahi,
menguatkan, memberikan inspirasi. Penting untuk diperhatikan adalah mana yang
cocok untuk diterapkan pada proses pembelajaran. Adapun pendekatan yang dipilih
merupakan hasil dari penelaahan dan solusi yang tepat dengan kondisi yang tepat
pula.
Sebagai
calon guru yang akan mengelola Sekolah Dasar, hendaknya kita memahami bagaimana
anak seusia SD melakukan aktivitas belajar sehingga dapat menjadi fasilitator
yang tepat bagi berlangsungnya belajar siswa. Diperlukan pijakan yang jelas dan
telah teruji keandalannya. Di sini kita akan memahami mengenai berbagai
pembelajaran di Sekolah Dasar. Ada empat pendekatan pembelajaran yang akan
dibahas, yakni: Holistik, Kontruktivisme, Experiental Learning, dan Multiple
Intelligence.
Pendekatan
pembelajaran tersebut merupakan pembelajaran kontemporer yang sedang trend dan
digunakan di Sekolah Dasar saat ini yang telah teruji secara empirik. Namun
demikian, pendekatan pembelajaran tersebut dalam penerapannya pada konteks
Sekolah Dasar di Indonesia perlu pengkajian kreasi dari para guru.
Akan
lebih baik jika keunggulan dari masing-masing pendekatan itu bukan diterapkan
secara lugas melainkan dikreasikan kembali sehingga muncul pendekatan
pembelajaran yang sesuai dengan konteks Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka permasalahan umum dalam makalah ini adalah:
“Bagaimana pendekatan pembelajaran di Sekolah Dasar?”.
Sub-sub masalah dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
Apakah
pedekatan pembelajaran Holistik?
2.
Apakah
pedekatan pembelajaran Kontruktivisme?
3.
Apakah
pedekatan pembelajaran Experiental
Learning?
4.
Apakah
pedekatan pembelajaran Multiple Intelligence?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan
masalah di atas, maka tujuan penulisan umum dalam makalah ini adalah: “Memahami
berbagai pendekatan pembelajaran di Sekolah Dasar”.
Sub-sub tujuan dari penulisan
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Memahami
pendekatan pembelajaran Holistik.
2.
Memahami
pendekatan pembelajaran Kontruktivisme.
3.
Memahami
pendekatan pembelajaran Experiental
Learning.
4.
Memahami
pendekatan pembelajaran Multiple
Intelligence.
D.
Manfaat penulisan
Adapun
manfaat dalam penulisan makalah ini baik bagi penulis maupun pembaca adalah sebagai berikut:
1. Agar dapat mengetahui berbagai macam
pendekatan pembelajaran di Sekolah Dasar seperti pendekatan pembelajaran
Holistik, pendekatan pembelajaran
Kontruktivisme, pendekatan pembelajaran Experiental
Learning dan pendekatan pembelajaran Multiple Intelligence.
2. Agar dapat diaplikasikan di masa yang
akan datang.
BAB II
PENDEKATAN
PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR
A.
Pendekatan Pembelajaran Holistik
dan Konstruktivisme
1.
Pengertian Pendekatan
Pembelajaran
Ada dua
istilah yang berkaitan erat dengan pembelajaran, yaitu pendidikan dan
pelatihan. Pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan dan pengembangan
kepribadian, sehingga memiliki pengertian yang lebih luas. Sedangkan pelatihan
lebih menekankan pada pembentukan keterampilan. Pendidikan dilaksanakan dalam
lingkungan sekolah, sedangkan pelatihan pada umumnya dilaksanakan dalam
lingkungan industri. Akan tetapi, pendidikan kepribadian saja belum cukup. Para
siswa perlu juga memiliki keterampilan agar dapat bekerja, bereproduksi, dan
menghasilkan berbagai hal yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh
karena itu, kedua istilah tersebut hendaknya tidak dapat dipisahkan melainkan perlu dipadukan dalam suatu proses
yang disebut pengajaran.
Perumusan tujuan merupakan hal yang utama
dalam setiap proses pengajaran agar senantiasa dapat diarahkan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Sehingga, proses pengajaran harus direncanakan
agar dapat dikontrol sejauh mana tingkat pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan. Itu sebabnya, suatu sistem pengajaran selalu mengalami dan
mengikuti tiga tahapan, yakni:
a.
Tahap
analisis untuk menentukan dan merumuskan tujuan;
b.
Tahap
sintesis yaitu tahap perencanaan proses yang akan ditempuh;
c.
Tahap
evaluasi untuk menilai tahap pertama dan kedua. (Oemar Hamalik, 1999)
Makna
pembelajaran menurut Oemar Hamalik (1999) merupakan suatu sistem yang tersusun
dari unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur
yang saling mempengaruhi pencapaian tujuan pembelajaran. Manusia yang terlibat
dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya
tenaga laboratorium. Material yang meliputi buku-buku, papan tulis dan kapur,
fotografi, slide dan film, audio dan video tape, serta material lainnya.
Fasilitas dan perlengkapan, terdiri atas ruangan kelas, perlengkapan audio
visual, juga komputer. Sedangkan prosedur, meliputi jadwal dan metode
penyampaian informasi, praktek, belajar, ujian, dan sebagainya.
Rumusan
makna pembelajaran tersebut mengandung isyarat bahwa proses pembelajaran tidak terbatas
dilaksanakan dalam ruangan saja, melainkan
dapat dilaksanakan di sembarang tempat dengan cara membaca buku,
informasi melalui film, surat kabar, televisi, internet, dan sebagainya
tergantung kepada organisasi dan interaksi antara berbagai komponen yang saling
berkaitan, untuk membelajarkan siswa.
Dengan
semakin meluas dan cepatnya arus informasi di era global, makin memudahkan para
siswa mengakses berbagai informasi yang gilirannya dapat mempermudah terjadinya
perilaku belajar. Namun demikian, hal tersebut tidak otomatis menumbuhkan
keinginan siswa untuk belajar. Untuk itu, peran guru dan upaya bagaimana
membelajarkan siswa tetap dianggap penting.
Dalam
kegiatan belajar mengajar di Sekolah Dasar yang pada umumnya menganut sistem
guru kelas, setiap guru mengajarkan semua bidang studi, kecuali Agama dan Olah
raga pada kelas binaannya. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya
keterampilan mengorganisasi siswa agar mereka dapat belajar. Guru juga
menghadapi bahan pengetahuan yang berasal dari buku teks, dari kehidupan,
sumber informasi lain, atau kenyataan di sekitar sekolah. Hal tersebut
menunjukkan betapa pentingnya keterampilan yang dimiliki guru untuk mengolah
pesan. Pembelajaran juga berarti meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan
keterampilan siswa yang dikembangkan bersama dengan perolehan pengalaman
belajar sesuatu.
Perolehan
pengalaman-pengalaman tersebut merupakan suatu proses yang berlaku secara
deduktif, induktif, atau proses yang lain. Dengan menghadapi sejumlah siswa,
berbagai pesan yang terkandung dalam bahan ajar, peningkatan kemampuan siswa,
dan proses perolehan pengalaman, maka setiap guru memerlukan pengetahuan
tentang pendekatan pembelajaran (Dimyati dan Mudjiono, 1999).
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran pada hakikatnya
merupakan kerangka acuan yang dianut seorang guru dalam praktek pembelajaran
yang dilakukan melalui pengorganisasian siswa dan pengolahan pesan untuk
mencapai sasaran belajar berupa peningkatan kemampuan kognitif, afektif dan
psikomotor serta kepribadian siswa secara keseluruhan.
a.
Pendekatan Holistik
Pendekatan
Holistik atau terpadu dalam pembelajaran, diilhami oleh Psikologi Gelstalt yang
dipelopori oleh Wertheimer, Koffka, dan Kohler. Menurut mereka, objek atau
peristiwa tertentu akan dipandang oleh individu sebagai suatu keseluruhan yang
terorganisasikan. Suatu objek atau peristiwa akan dapat dilihat maknanya jika
diamati dari segi keseluruhannya dan keseluruhan itu bukan jumlah
bagian-bagian. Sebaliknya suatu bagian baru akan bermakna jika berada dalam
kaitan dengan keseluruhan. Produk pembelajaran seharusnya tidak dilihat dari
dampaknya terhadap salah satu aspek individual siswa, melainkan harus dari
keseluruhan aspek yang yang mencakup dimensi fisik, sosial, kognitif, emosi,
moral dan kepribadian secara utuh.
Aplikasi,
teori Gestalt dalam pendekatan pembelajaran antara lain adalah dalam hal-hal
sebagai berikut (Moh.Surya, 1999):
1)
Pengalaman
memahami (insight)
Berdasarkan
percobaannya, Kohler menyatakan bahwa memahami memegang peranan penting dalam
perilaku. Sehubungan dengan hal itu dalam proses pembelajaran, hendaknya guru
membantu siswa agar para siswa memiliki kemampuan insight yaitu kemampuan
mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu objek atau peristiwa. Guru juga
hendaknya mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan proses
insight.
2)
Pembelajaran
yang bermakna (meaningful learning)
Kebermaknaan
unsur-unsur yang terkait dalam suatu objek atau peristiwa, akan menunjang
pembentukan insight dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu
unsur, akan makin efektif sesuatu dipelajari. Oleh karena itu aturan-aturan
yang mendasari unsur-unsur dalam suatu objek hendaknya dipahami dan dijadikan
dasar dalam pengembangan insight dan pemahaman keseluruhan objek atau
peristiwa. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah khususnya
dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif dan pemecahannya.
Hal-hal yang dipelajari siswa hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis
dengan proses kehidupannya.
3)
Perilaku
bertujuan (purposive behavior)
Prinsip
ini dikembangkan oleh Edward Tolman yang meyakini bahwa pada hakikatnya
perilaku itu terarah kepada suatu tujuan. Perilaku bukan hanya sekedar hubungan
antara stimulus dan respon (tindak balas), akan tetapi adanya keterkaitan yang
erat dengan tujuan atau sesuatu yang ingin diperoleh. Bagi Tolman, pembelajaran
terjadi karena siswa membawa harapan-harapan (expectancies) tertentu ke dalam situasi pembelajaran. Berdarkan
prinsip ini, proses pembelajaran akan lebih efektif apabila dapat membantu
siswa untuk mengenal tujuan yang akan dicapainya, selanjutnya mampu mengarahkan
perilaku belajarnya ke tujuan tersebut. Oleh karena itu, guru hendaknya
menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu siswa dalam
memahami tujuan itu untuk selanjutnya mengembangkan aktivitas pembelajaran yang
efektif.
4)
Prinsip
ruang hidup (file space)
Konsep
ini dikembangkan oleh Kurt Lewin dalam teori medan (filed theory) yang menyatakan bahwa perilaku individu mempunyai keterkaitan
dengan lingkungan atau medan di mana ia berada. Individu berada dalam suatu
lingkungan medan psikologis yang mempunyai pola-pola perilakunya. Prinsip ini
mengimplikasikan adanya padanan dan kaitan antara proses pembelajaran dengan
tuntutan dan kebutuhan lingkungan. Materi yang diajarkan guru hendaknya
memiliki padanan dan kaitan dengan situasi kondisi lingkungannya.
5)
Transfer
dalam pembelajaran
Transfer
dalam pembelajaran adalah pemindahan pola-pola perilaku dari suatu situasi
pembelajaran tertentu kepada situasi lain. Sesuai dengan teori Gestalt,
pembelajaran mempunyai makna sebagai proses membentuk suatu pola Gestalt atau
keseluruhan atau konfigurasi yang mempunyai bentuk dan arti. Menurut teori ini,
transfer terjadi dengan jalan melepaskan pengertian atau objek dari suatu
konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Sejalan dengan konsep Gestalt
ini, Judd mengembangkan teori generalisasi dalam pembelajaran. Judd menekankan
pentingnya penanganan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan
kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Menurut teori ini,
transfer akan terjadi apabila siswa menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu
masalah, dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan
masalah dalam situasi lain. Dalam hubungan dengan pembelajaran di kelas,
hendaknya guru membantusiswa untuk menguasai prinsip-prinsip pokok
darimateri-materi yang diajarkannya kemudian dilatihkan untuk dapat diterapkan
dalam situasi-situasi lain yang mungkin berbeda sifatnya.
Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menampakkan keberadaan belajar
sebagai proses terpadu (Depdikbud, 1988), diantaranya:
1)
Pembelajaran
dapat berfungsi secara penuh untuk membantu perkembangan individu seutuhnya.
2)
Pembelajaran
sebagai aktivitas membelajarkan siswa untuk pemerolehan pengalaman menempatkan
siswa sebagai pusat segala-galanya.
3)
Pembelajaran
dalam hal ini lebih menuntut kepada terciptanya suatu aktivitas yang
memungkinkan adanya lebih banyak keterlibatan siswa secara aktif dan intensif.
4)
Pembelajaran
menempatkan individu pada posisi yang terhormat dalam suasana kebersamaan di
dalam penyelesaian persoalan yang dihadapinya.
5)
Pembelajaran
sebagai proses terpadu mendorong setiap siswa untuk terus-menerus belajar.
6)
Belajar
sebagai proses terpadu memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya kepada siswa
untuk memilih tugasnya sendiri, mengembangkan kecepatan belajarnya sendiri dan
bekerja berdasarkan standar yang ditentukan sendiri.
7)
Pembelajaran
sebagai proses terpadu dapat berfungsi dan berperan secara efektif bila
diciptakan lingkungan belajar secara total yang tidak hanya memberikan dukungan
fasilitas terhadap peningkatan pertumbuhan dan pengembangan salah satu aspek
saja, melainkan juga semua aspek.
8)
Pembelajaran
sebagai proses terpadu memungkinkan pembelajaran bidang studi tidak harus
secara terpisah melainkan dilaksanakan secara terpadu.
9)
Pembelajaran
sebagai proses terpadu memungkinkan adanya hubungan antara sekolah dan
keluarga.
b.
Pendekatan Kontruktivisme
Cikal
bakal kontruktivisme bermula dari gagasan Giambatissta Vico, seorang
epistemolog Italia kemudian dimunculkan dalam tulisan Mark Baldwin yang
kemudian diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget.
Para
penganut kontruktivisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah merupakan kontruksi
dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu
kenyataan yang sedang dipelajari, tetapi merupakan konstruksi kognitif
seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan
bukanlah sesuatu yang sudah ada di sana dan orang tinggal mengambilnya tetapi
merupakan suatu bentukan terus-menerus dari seseorang yang setiap kali
mengadakan reorganisasi karena munculnya pemahaman yang baru (Paul Suparno,
1977).
Kaum
kontruktivis menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu dengan inderanya.
Dengan berinteraksi terhadap objek dan lingkungannya melalui proses melihat,
mendengar, menjamah, membau dan merasakan, orang dapat mengetahui sesuatu.
Bagi
kaum ini, pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah tertentu, tetapi merupakan
proses menjadi. Menurut Von Glaserfeld, tokoh filsafat kontruktivisme di
Amerika Serikat, pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari
pikiran seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) kepikiran orang yang belum
punya pengetahuan (siswa). Bahkan bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep,
ide dan pengertiannya kepada siswa, pemindahan itu harus diinterprestasikan dan
dikontruksikan oleh siswa sendiri dengan pengalaman mereka. Von Glaserfeld
menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk proses pembentukan
pengetahuan itu, seperti:
1)
Kemampuan
mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman;
2)
Kemampuan
membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan; dan
3)
Kemampuan
untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain.
Bagi
kontruktivis, pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis. Malah secara ekstrim
mereka menyatakan bahwa kita tidak dapat mengerti realitas (kenyataan) yang
sesungguhnya, yang kita mengerti adalah struktur kontruksi kita akan suatu
objek. Bettencourt menyatakan memang kontruktivisme tidak bertujuan mengerti
realitas, tetapi lebih menekankan bagaimana kita tahu atau menjadi tahu. Bagi
kontruktivisme, realitas hanya ada sejauh berhubungan dengan pengamat.
Kontruktivisme
meletakkan kebenaran dari pengetahuan dengan viabilitisnya, yaitu berlakunya
konsep atau pengetahuan itu dalam penggunaan. Semakin dalam dan luas suatu
pengetahuan dapat digunakan, semakin luas kebenarannya. Dalam kaitan ini maka
pengetahuan tarafnya, mulai dari yang berlaku secara terbatas sampai yang lebih
umum sehingga pengetahuan itu ada batasnya.
Bettencourt
menyebutkan beberapa hal yang membatasi proses kontruksi pengetahuan, yaitu:
1)
Kontruksi
yang lama;
2)
Domain
pengalaman kita; dan
3)
Jaringan
struktur kognitif kita.
Proses
dan hasil kontruksi pengetahuan kita yang lalu menjadi pembatas kontruksi
pengetahuan kita yang mendatang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi
unsur yang penting dalam pembentukan dan pengembangan pengetahuan, dan
keterbatasan pengalaman akan membatasi pengetahuan kita pula. Von Glaserfeld
membedakan tiga level kontruktivisme dalam kaitan hubungan pengetahuan dan
kenyataan, yakni kontruktivisme radikal, realisme hipotesis, dan kontruktivisme
yang biasa.
Von
Glaserfeld membedakan tiga level pengetahuan dan kenyataan, yakni hipotetik,
dan kontruktivisme yang biasa. Kontruktivisme radikal mengesampingkan hubungan
antara pengetahuan dan kenyataan sebagai kriteria kebenaran. Bagi kaum radikal
pengetahuan adalah suatu pengaturan atau organisasi dari suatu objek yang dibentuk
oleh seseorang. Menurut aliran ini kita banyak tahu apa yang dikontruksi oleh
pikiran kita. Pengetahuan bukanlah representasi kenyataan. Realisme hipotetik
memandang pengetahuan sebagai suatu hipotesis dari struktur kenyataan dan
sedang berkembang menuju pengetahuan sejati yang dekat dengan realitas.
Sedangkan kontruktivisme yang biasa masih melihat pengetahuan sebagai suatu
gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek.
Dari
segi subjek yang membentuk pengetahuan, dapat dibedakan amtara kontruktivisme
psikologis, personal dan sosio-kulturalisme, dan kontruktivisme sosilogis.
Personal dengan tokohnya Piaget menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh
seseorang secara pribadi di dalam berinteraksi dengan pengalaman objek yang
dihadapinya. Sosiokulturalisme yang ditokohi oleh Vygotsky, menjelaskan bahwa
pengetahuan dibentuk baik secara pribadi tetapi juga oleh interaksi sosial dan
kultural dengan orang-orang yang lebih tahu tentang hal itu dan lingkungan yang
mendukung. Sedangkan kontruktivisme sosiologis menyatakan bahwa pengetahuan itu
dibentuk oleh masyarakat sosial.
Pandangan
kontruktivisme pengetahuan pada dasarnya dibangun oleh siswa melalui interaksi
dengan lingkungan. Asumsi ini mengisyaratkan bahwa proses yang bermakna bagi
siswa akan terjadi kalau ia berbuat atas lingkungannya, mengkreasi, atau
memanipulasi objek. Menurut Greenberg (1984) siswa akan terlibat dalam belajar
secara intensif jika ia membangun sesuatu daripada sekedar melakukan atau
meniru yang diangun orang lain.
Pengetahuan
baru itu dibangun anak melalui interaksi antara pengalaman eksternal dan
struktur mental internal. Pentingnya interaksi sosial bagi perkembangan
kognitif dan berfikir siswa juga ditegaskan oleh Vygotsky (Berk, 1994). Dengan
alinea mengacu kepada pandangan kontruktivisme., Bredekamp dan Rosegrant (1992)
akhirnya menyimpulkan bahwa anak akan belajar dengan baik dan bermakna apabila
dalam proses pembelajaran tersebut:
1)
Anak
merasa aman secara psikologis serta kebutuhan-kebutuhan fisiknya terpenuhi,
2)
Anak
mengkontruksi pengetahuan,
3)
Anak
belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa dan anak-anak lainnya,
4)
Anak
belajar melalui bermain,
5)
Minat
dan kebutuhan anak untuk mengetahui dapat terpenuhi, dan
6)
Unsur
variasi individual anak diperhatikan.
M.
solehuddin (1999) merumuskan sejumlah pemikiran yang memungkinkan aktivitas
belajar anak SD lebih bermakna dengan menerapkan prinsip konstruktivisme. Jika
para guru cenderung menggunakan cara pembelajaran yang terarah dengan berpusat
pada guru (teacher-centered teaching
approuch), tentu pendekatan itu tidak relevan dengan prinsip-prinsip
pandangan konstruktivistik. Cara mengajar demikian tidak memberikan peluang
kepada anak untuk mengkreasi dan membangun pengetahuan. Sebaliknya, pandangan kontruktivisme
menghendaki para guru untuk menerapkan pendekatan mengajar yang berpusat pada
anak (child-centered teaching approuch).
Secara lebih rinci, cara pembelajaran anak yang diharapkan dapat dideskripsikan
berikut ini:
1)
Orientasi
mengajar tidak hanya pada segi pencapaian prestasi akademik,
2)
Untuk
membuat pelajaran bermakna bagi anak, topik-topik yang dipilih dan dipelajari
didasarkan pada pengalaman-pengalaman anak yang relevan,
3)
Metode
mengajar yang digunakan harus membuat anak terlibat dalam suatu aktivitas
langsung dan bersifat bermain yang menyenangkan atau a pleasurable hands-on and playful activity dan bukannya sekedar
membuat anak mengikuti pelajaran yang alami dan bermakna,
4)
Dalam
proses belajar, kesempatan anak untuk bermain dan bekerja sama dengan orang
lain juga diprioritaskan.
5)
Bahan-bahan
pelajaran yang digunakan hendaknya bahan-bahan yang konkrit dan kalau mungkin
ini bahkan yang sebenarnya,
6)
Dalam
menilai hasil belajar siswa, para guru tidak hanya menekankan aspek kognitif
dengan menggunakan tes tertulis (paper-pencil
test), tetapi harus pula mencakup semua domain perilaku anak yang relevan
dengan melibatkan sejumlah alat penilaian,
7)
Ide
di atas akhirnya diimplikasikan perlunya guru menampilkan peran utama sebagai
guru dalam proses pembelajaran anak, dan bukannya sebagai transmitor
pengetahuan kepada anak.
B.
Pendekatan Pembelajaran Experiential
Learning dan Multiple Intelligence
1.
Pendekatan Experiential Learning
Untuk
memahami makna, experiential learning,
yang berarti belajar melalui penghayatan langsung atas pengalaman yang dialami,
sebaiknya digunakan pengertian baku yang dapat ditemukan dalam kepustakaan.
Hoover (Wisnubrata Hendrojuwana, 1990) mengungkapkan bahwa: “Experiential Learning terjadi apabila
siswa secara pribadi bertanggung jawab atas proses pengetahuan, keterampilan,
dan/atau sikap dan situasi belajar yang ditandai oleh taraf keterlibatan sangat
aktif, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotoris.”
Definisi tersebut mengandung
empat syarat:
a.
Siswa
memikul tanggung jawab pribadi untuk belajar apa yang ingin dicapainya,
b.
Lebih
hanya sekedar melibatkan proses-proses kognitif,
c.
Tujuan
belajarnya meliputi pula aspek keterampilan dan aspek afektif, di samping
tujuan yang sifatnya tradisional, yaitu mengembangkan pengetahuan, dan
d.
Bagaimanapun
juga siswa itu aktif dalam proses belajar, baik secara fisik maupun secara
psikologis.
Dengan
mengacu kepada pendapat Walter dan Marks (1981), Wisnubrata selanjutnya
mengemukakan definisi lain yaitu:
“Experiential learning merupakan suatu urutan peristiwa satu atau
lebih tujuan belajar yang ditetapkan, yang mensyaratkan keterlibatan siswa
secara aktif pada salah satu hal yang dipelajari dalam urutan itu. Pelajaran
disajikan, diilustrasikan, disoroti, dan didukung melalui keterlibatan siswa.
Prinsip utama experiential learning
ini adalah seseorang belajar paling baik apabila ia melakukannya.”
Dengan
demikian, mengandung arti bahwa ciri experiential
learning adalah sebagai berikut:
a.
Keterlibatan
siswa di mana mereka aktif melakukan sesuatu,
b.
Terjadi
relevansi terhadap topik pada experiential
learning,
c.
Tanggung
jawab siswa dalam experiential learning
ditingkatkan,
d.
Penggunaan
experiential learning bersifat luwes,
baik setting-nya, siswanya, maupun
tipe pengalaman belajarnya (termasuk tujuannya).
Menurut
Hendrojuwono, pelaksanaan experiential
learning meliputi lima tahapan, yaitu:
a.
Tahap Pengantar, tahap ini dimulai dengan
menciptakan iklim belajar yang diinginkan dan mengemukakan rencana serta
persiapan yang telah dibuat, yaitu menentukan sifat keseluruhan pengalaman,
yang menyangkut keterlibatan, keterbukaan pada pengalaman, pengambilan risiko,
orientasi pada proses, dan tanggung jawab siswa maupun guru. Biasanya pada
tahap ini terjadi kontrak belajar atau psychological
contract, yaitu menyatukan harapan-harapan siswa dengan apa yang bisa
diberikan guru.
b.
Tahap Kegiatan, tahap ini menyangkut
aspek-aspek mekanikal material,
ruangan, dan susunan siswa, pemberian petunjuk, dan pembagian waktu. Terjadi
penegasan keterlibatan, kehadiran, dan tanggung jawab siswa dan guru. Tanggung
jawab siswa perlu dikembangkan dalam hal kesadaran, perbuatan, konsentrasi, dan
memberi proses.
c.
Tahap Debriefing, tahap ini terutama meliputi
diskusi tentang kegiatan yang telah diselesaikan dengan memberi detail, urutan,
dan maknanya bagi pengalaman siswa. Perlu pula disoroti perbedaan isi dan proses,
karena isi kegiatan menyangkut materi dan teknik yang digunakan untuk
menggambarkan hal itu, sedangkan proses menyangkut umpan balik, sharing, serta reaksi terhadap umpan
balik dan sharing itu. Guru perlu
memberi contoh bagaimana memberi umpan balik yang sesuai dengan persyaratan
yang berlaku dan bagaimana memanfaatkan umpan balik yang diterima.
d.
Tahap Rangkuman, rangkuman bisa menyangkut
kegiatan khusus atau kegiatan keseluruhan. Rangkuman kegiatan khusus, guru
tidak hanya menyoroti isi dan proses kegiatannya, tetapi juga mengintegrasikan
penelitian teoritis dan empiris dengan pengalaman siswa dalam situasi belajar.
Guru dapat memberi semacam ceramah, tetapi disertai pula dengan sharing perasaan dan reaksi dengan
siswa.
Pada
rangkuman seluruh kegiatan, guru mengintegrasikan pengalaman belajar dan
pengalihannya dari pengalaman belajar yang mencolok pada situasi-situasi atau
keadaan-keadaan lain.
Pada
akhir rangkuman guru perlu mempersiapkan siswa untuk melakukan pengalihan transferring dan penerapan pengalaman
belajarnya pada kehidupan nyata. Salah satu keuntungan peserta adalah bahwa
mereka dapat saling mendukung penerapannya dalam situasi sebenarnya, karena
setelah selesai kegiatan itu mereka masih merupakan satu kelompok yang tetap
untuk jangka waktu yang cukup panjang.
e.
Tahap Evaluasi, biasanya menyangkut evaluasi
keberhasilan atau efektivitas pengalaman belajar yang bisa berupa kegiatan
tunggal atau keseluruhan pengalaman.
Ada
beberapa teknik pembelajaran yang dianggap tepat untuk digunakan merangsang
perubahan tingkah laku selama experiential
learning yaitu: Simulasi, Latihan
terstruktur, dan Interaksi Kelompok.
Teknik
Simulasi adalah metode atau gambaran beberapa segi pengalaman manusia, yang di
dalamnya mengandung perangkat aturan, pedoman, dan peralatan yang dapat
menggambarkan, mencerminkan, dan menirukan proses, kejadian, atau kondisi yang
sebenarnya. Dibandingkan dengan teknik lain simulasi memiliki nilai lebih,
karena sifatnya yang khas itu juga sangat potensial untuk menggali proses
perubahan yang terjadi. Melihat potensinya yang sangat besar itu, maka teknik
ini dilakukan sebagai teknik utama. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah
dengan permainan.
Latihan
terstruktur adalah kegiatan yang digunakan untuk melibatkan siswa secara
langsung pada isi pengalaman atau dengan siswa lain. Teknik ini terdiri atas
prosedur yang ditentukan secara jelas langkah demi langkah, dan dimaksudkan
untuk memberi kesempatan agar siswa akrab dengan keterampilan praktis,
membangkitkan perasaan dan reaksi mereka, serta mendorongnya bergerak menuju ke
arah pengalaman belajar.
Dalam
teknik interaksi kelompok, siswa diminta saling berbagi atau sharing pengalaman tentang apa yang
terjadi dalam kelompoknya. Dengan cara itu diharapkan kesadaran diri siswa
lebih meningkat dan dapat lebih menyadari orang lain serta lebih memahami
tingkah laku individu maupun kelompok. Penggunaan teknik ini lebih
menitikberatkan pada proses kelompok daripada diskusi.
Salah
satu perubahan yang paling sederhana dan paling jelas serta berterus terang
dalam experiential learning adalah
melalui umpan balik. Dibandingkan dengan proses perubahan lainnya, seperti
misalnya pelaziman conditioning, maka
umpan balik merupakan salah satu unsur perubahan pribadi dalam experiential learning yang paling luas
dibicarakan dan digunakan Walter dan Marks (dalam Wisnubrata Hendrojuwono,
1990)
Umpan
balik memiliki empat aspek, yaitu bisa bersifat penginderaan dinamis, atau
bersifat statis, bisa intrinsik atau ekstrinsik, bisa positif atau negatif, dan
bisa pula bersifat informal atau konfrontasional.
Umpan
balik penginderaan dinamis berhubungan dengan stimuli yang membangkitkan
gerakan yang secara intrinsik memberi jalan bagi pengaturan gerakan dalam
kaitannya dengan lingkungan. Pengetahuan akan hasil diberikan sesudah suatu
respon, yaitu akibat sesudahnya yang statis, yang dapat memberi informasi
tentang ketepatan, tetapi tidak mungkin memberi stimuli yang mengatur secara
dinamis. Indikasi umpan balik mengenai kesalahan akan lebih efektif pada
tampilan kerja dan belajar daripada pengetahuan akan hasil yang sifatnya
statis.
Pengetahuan
akan hasil intrinsik terjadi apabila seseorang melakukan banyak tugas, misalnya
pada waktu mengendarai mobil individu akan secara konstan memperoleh umpan
balik tentang di mana letak kakinya melalui otot-ototnya. Pengetahuan akan
hasil yang ekstrinsik memberikan bimbingan eksternal tentang konsekuensi
perbuatannya, misalnya jarum penunjuk kecepatan mobil memberikan pengetahuan
akan hasil ekstrinsik yang memungkinkan pengemudi menyesuaikan kecepatan mobil
dengan pijakan pedal gas.
Umpan
balik positif terjadi pabila isyarat-isyarat diberikan sedemikian rupa sehingga
meningkatkan penyimpanan keluaran dari keadaan yang mantap. Sebaliknya jika
menurunkan penyimpangan disebut umpan balik negatif. Putaran umpan positif
sangat diharapkan bagi pengembangan dan perluasan seperti dalam pengembangan
pribadi melalui experiential learning.
Umpan balik negatif sebagai prasyarat yang diperlukan bagi semua tingkah laku
yang mempunyai maksud tertentu, karena akan membantu sistem ke arah
keseimbangan atau menuntun tingkah laku ke arah tujuan yang ditetapkan.
Umpan
balik informal hanya memberi informasi pada individu, sedangkan umpan balik
konfrontasional di samping memberi informasi juga lebih menuntut kepada
penerima. Umpan balik konfrontasional ditujukan terhadap kurangnya kesadaran
atau ketidaksesuaian tingkah laku seseorang dan pada hal-hal yang mempunyai
makna sangat pribadi, misalnya diberikan kepada seseorang yang tidak menyadari
bahwa tingkah lakunya menyinggung perasaan orang lain.
Dalam
pendekatan experiential learning,
peran umpan balik untuk mrngubah tingkah laku sangat besar. Perhatian utama
adalah pada pemahaman terhadap bagaimana umpan balik itu bekerja dan juga
bagaimana individu bisa dituntun agar menguasai teknik-teknik memberi dan
menerima umpan balik secara efektif.
Umpan
balik yang digunakan dalam experiential
learning ini bertujuan untuk memperoleh kompetensi (kesanggupan) untuk
memberi dan menerima secara wajar, bukan sebagai upaya terapi. Siswa dianggap
sebagai individu yang sadar, terbuka, dan mempercayai orang lain. Berarti umpan
balik yang dipertukarkan harus jelas, tidak bersifat evaluatif, dan dapat diuji
langsung. Penerima umpan balik akan mengevaluasi kebaikan atau keburukan isi
umpan balik itu. Untuk kepentingan itu suasana experiential learning perlu dibuat sedemikian rupa sehingga pemberi
umpan balik harus mempunyai maksud yang konstruktif dan penerimanya harus
mempunyai keinginan untuk belajar, sehingga sifat umpan baliknya adalah
konstruktif dan konfrontasional.
Persyaratan
umpan balik dalam pembelajaran hubungan antarpribadi adalah sebagai berikut:
a.
Dimaksudkan
untuk membantu penerima,
b.
Diberikan
secara lansung, disertai perasaan yang sebenarnya, dan didasarkan pada rasa
saling percaya antar pemberi dan penerima,
c.
Bersifat
deskriptif (menguraikan tingkah laku), bukan bersifat evaluatif (evaluasi sifat
kepribadian),
d.
Spesifik,
bukan bersifat umum, disertai contoh yang jelas yang baru saja disadari,
e.
Diberikan
pada saat penerima tampak berada dalam kondisi siap menerimanya,
f.
Dicek
pada siswa lain dalam kelompok itu untuk meyakinkan keahliannya,
g.
Dibatasi
pada hal-hal yang diharapkan untuk dilakukan penerima,
h.
Dibatasi
pada hal-hal yang dapat dilakukan penerima dalam waktu tertentu.
Dengan
pendekatan pembelajaran semacam ini siswa dapat saling mendorong untuk
mengembangkan kesediaan dan kemampuan mengambil risiko, memikul tanggung jawab,
serta mempertimbangkan realitas yang dihadapi. Mereka mengawalinya dalam
kelompok selama pembelajaran pelatihan berlangsung dan kemudian menggunakan
dalam situasi kehidupan nyata.
Siswa
juga diharapkan dapat mengubah pola tingkah lakunya (kognitif, afektif, maupun
psikomotorik), dan juga diharapkan menerapkan perubahan tingkah lakunya dalam
kehidupan sehari-hari. Karena siswa hidup dalam tiga lingkungan sosial yang
berbeda, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat, termasuk kelompok sebaya.
2.
Pendekatan Multiple Intelligence
Konsep
dasar Multiple Intelligence
diungkapkan oleh Howard Gadner dalam bukunya “Frames of Mind: yang berbunyi “our culture defined intelligence too
narrowly” merupakan dasar pemikiran munculnya teori Multiple Intelligence. Ia memandang bahwa ruang lingkup potensi
manusia melebihi skor IQ dan tidak terbatas hanya pada kemampuan memecahkan
masalah dan menghasilkan produk. Dalam perspektif pragmatis, konsep inteligensi
mulai kehilangan unsur mistisnya dan menjadi lebih fungsional. Gadner (Thomas
Amstrong. 1994) telah melakukan pemetaan kemampuan manusia ke dalam tujuh
kategori intelegensi yang lebih komprehensif yaitu:
a.
Kecerdasan bahasa adalah kapasitas penggunaan
kata-kata secara efektif baik secara lisan maupun tulisan. Kecerdasan bahasa
meliputi kemampuan memanipulasi struktur
bahasa, atau bunyi bahasa, makna bahasa, dan penggunaan bahasa.
b.
Kecerdasan matematika-logika adalah kapasitas menggunakan
angka secara efektif.
c.
Kecerdasan pemahaman ruang adalah kemampuan mengamati ruang
dan visual secara akurat serta melakukan transformasi terhadap persepsi.
d.
Kecerdasan kinestetik adalah kemampuan menggunakan
anggota tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan dan menggunakan tangan
untuk mentransformasi sesuatu.
e.
Kecerdasan musikal adalah kapasitas untuk merasakan,
membedakan, mentranformasikan, dan mengekspresikan satu bentuk musik yang
meliputi kepekaan terhadap ritme, melodi, dan suara musik.
f.
Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan membedakan
suasana hai, motivasi dan perasaan orang lain.
g.
Kecerdasan intrapersonal adalah pengetahuan tentang diri
dan bertindak secara adaptif atas dasar pengetahuan.
Banyak
orang yang menilai bahwa kualitas musikal, pemahaman ruang, dan kinestetik
sebagai bakat, namun gadner secara teoritik menyebutnya sebagai intelegensi
alasannya adalah agar lebih provokatif. Menurut Thomas Amstrong (1994) klaim
Gadner ini didukung oleh delapan faktor yaitu:
a.
Isolasi
potensi karena kerusakan otak,
b.
Adanya
individu yang luar biasa,
c.
Perbedaan
jalur perkembangan,
d.
Adanya
evolusi sejarah,
e.
Temuan
dari psikometrik,
f.
Dukungan
dari psikologi eksperimental,
g.
Adanya
“core operation”
h.
Adanya
proses pengkodean sistem simbolik
Hal
yang penting tentang teori Multiple Intelegence ialah:
a.
Setiap
individu memiliki ketujuh inteligensi yang unik,
b.
Individu
mengembangkan masing-masing inteligensinya sesuai dengan tingkat tingkat
perkembangan,
c.
Masing-masing
inteligensi saling memiliki keterkaitan menjadi sistem yang kompleks,
d.
Terdapat
beragam cara untuk menjadi inteligen dalam setiap kategori inteligensi.
Multiple Intelligence dan Pengembangan
Kurikulum
menurut Goodland (Thomas Amstrong, 1994) kebanyakan aktivitas kelas berfokus
pada: “worksheet” dan “workbook”. Dalam konteks ini keberadaan teori multiple
intelligences dapat memperbaiki proses pengajaran yang berfokus pada satu sisi
sekaligus sebagai “metamodel” untuk mengorganisasikan dan mensintesis semua
inovasi pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Jean Jacques Rousseau bahwa
“the child must learn not through
word,but trough experience, not through
books but throught book of life.”
Teori
multiple intelligence pada dasarnya menekankan hal terbaik yang dapat dilakukan
guru di kelas. Teori multiple intelligence memberikan pedoman kepada guru dalam
memilih metode mengajar yang terbaik disertai prosedur pengembangannya yang
melibatkan unsur metode, materi, dan teknik mengajar.
Kegiatan
yang dilakukan atau tidak dilakukan dalam menerapkan teori multiple
intelligence jangan dipandang secara kaku. Teori ini dapat diimplementasikan
pada konteks pengajaran dalam arti luas mulai dari pengajaran yang beradegan
tradisional sampai pada lingkungan belajar terbuka yang ditandai oleh adanya
kebebasan siswa untuk mengatur sendiri proses belajarnya. Pengajaran
tradisional dapat dirancang untuk menstimulasi ketujuh intelegensi dengan
menggunakan prinsip multiple intellegence, misalnya menekankan pada irama
(musikal), melukis gambar (pemahaman ruang), membuat bahasa tubuh (kinestetik),
memberikan peluang kepada siswa untuk melakukan refleksi (intrapersonal), dan
meminta siswa bertanya (interpersonal).
Pendekatan
terbaik untuk mengembangkan kurikulum berbasis multiple intellegence adalah
“bagaimana menterjemahkan materi pelajaran dari inteligensi ke inteligensi yang
lain”. Ada tujuh langkah yang harus ditempuh dalam mengembangkan kurikulum yang
berbasis teori multiple intelligence, yaitu:
a.
Fokuskan
topik atau tujuan khusus, tetapkan apakah tujuan berskala besar (untuk jangka
panjang), atau bertujuan khusus (mendorong rencana pendidikan siswa secara
individual). Tujuan harus dinyatakan secara jelas dan singkat.
b.
Munculkan
pertanyaan multiple intelligence.
c.
Pertimbangkan
segala kemungkinan, pikirkanlah metode dan materi yang tepat bahkan tidak
tepat.
d.
Curah
pendapat, kemukakan segala gagasan yang ada dalam pikiran dan usahakan satu ide
untuksatu intelligensi kemudian konsultasikan dengan kolega untuk membantu
menstimulasi pikiran.
e.
Pilihlah
aktivitas yang cocok, setelah semua gagasan lengkap maka tentukan pendekatan
yang benar-benar operasional dalam adegan pendidikan.
f.
Kembangkan
urutan tindakan dengan menggunakan pendekatan yang telah dipilih rancanglah
rencana pelajaran dan tetapkan alokasi waktu untuk setiap hari pelajaran.
g.
Implementasikan
rencana, kumpulkan materi yang dibutuhkan, pilihlah waktu yang tepat dan
kemudian laksanakan rencana belajar. Modifikasi dapat dilakukan selama proses
implementasi strategi.
Meskipun
pengajaran yang berorientasi keterampilan akademik memberikan kepada siswa
kompetensi yang bermanfaat bagi pendidikan selanjutnya, namun para pendidik
harus beralih pada model pengajaran yang merupakan tiruan atau cermin dari
kehidupan sebenarnya, model tersebut adalah model tematik.
Model
tematik yang dikembangkan oleh Susan Kovalik (Thomas Amstrong, 1994) berpatokan
pada perspektif waktu, misalnya semesteran. Tanpa mengabaikan waktu, teori multiple
intelligence dapat menjadi pedoman dalam menstruktur kurikulum tematik dan
pengembangan aktivitas yang dapat menstimulasi ke tujuh inteligensi. Esensinya
adalah pengajaran harus didasari oleh keinginan untuk mengembangkan kemampuan
dibalik inteligensi sehingga setiap siswa memiliki peluang berhasil di sekolah.
Multiple Intelligence dan
Strategi Pengajaran,
Teori multiple intelligence memberikan peluang kepada guru untuk mengembangkan
pengajaran yang lebih inovatif dalam pendidikan. Logikanya adalah tidak ada
strategi pengajaran yang baik untuk semua siswa dan semua waktu. Karena ada
prinsip perbedaan individual, maka guru dituntut untuk menggunakan strategi
pengajaran yang sesuai dengan kondisi siswa. Berikut ini dikemukakan beberapa
strategi pengajaran yang dapat diadaptasi oleh guru dalam konteks multiple
intelligence, yakni:
a.
Strategi
pengajaran untuk intelligence bahasa. Ada lima strategi pengajaran untuk
intelligensi bahasa, yaitu:
1)
Bercerita, secara tradisional bercerita
dipandang sebagai hiburan, namun dapat dijadikan alat untuk pengajaran
matematika dan sainsatau IPA.
2)
Curah pendapat, secara teknis adalah semua
siswa diminta untuk mengemukakan ide yang ada dalam pikirannya tanpa ada
kritik, kemudian dicatat di papan tulis dan dikelompokkan, seterusnya siswa
diminta untuk merenungkan ide masing-masing.
3)
Tape recording, bermanfaat untuk mengembangkan
kemampuan bahasa siswa, membantu menggunakan keterampilan verbal,
danmengembangkan ide, memecahkan masalah dan mengekspresikan perasaan.
4)
Menulis jurnal, siswa diminta untuk menulis
jurnal pribadi tentang pengalaman, perasaan, literatur yang dilengkapi dengan
foto, dialog sketsa, dan data non-verbal.
5)
Publikasi,siswa menulis pikiran dan
pengalamannya di majalah, surat-kabar, buletin dan sebagainya.
b.
Strategi
pengajaran untuk Inteligensi Matematika dan Logika. Ada lima strategi pokok
pengajaran untuk inteligensi logika dan matematika, yaitu:
1)
Kalkulasi dan kuantifikasi, dapat dilakukan tidak terbatas pada pelajaran
matematika dan ilmu pengetahuan namun juga pada ilmu sosial. Tujuannya adalah
meningkatkan logika siswa dan membuktikan bahwa matematika tidak hanya di kelas
tetapi dalam kehidupan.
2)
Klasifikasi dan kategorisasi, tujuannya adalah suatu
informasi yang berbeda dapat diorganisasikan ke dalam ide pokok atau tema
sehingga lebih mudah untuk diingat, didiskusikan dan dipikirkan.
3)
Pertanyaan sokratik, guru berperan sebagai pemberi
pertanyaan dan berdialog dengan siswa untuk menguji kejelasan, akurasi, koherensi,
atau relevansi jawaban siswa. Tujuannya adalah untuk mempertajam keterampilan
berfikir.
4)
Heuristik, bertujuan untuk membantu siswa
membentuk peta logika melalui proses analogi sehingga dapat membantu mengenal
masalah akademik yang baru atau asing.
5)
Berfikir sains, tujuannya membantu siswa untuk
dapat berpikir ilmiah dan sistematis.
c.
Strategi
pengajaran untuk Kecerdasan Pemahaman Ruang. Kecerdasan pemahaman ruang
merupakan respon terhadap gambar. Ada lima strategi pokok pengajaran kecerdasan
pemahaman ruang, yaitu:
1)
Visualisasi, merupakan cara termudah untuk
membantu siswa menterjemahkanbuku dan materi pelajaran ke dalam gambar dan
citra. Aplikasi strategi ini adalah meminta siswa untuk membentuk “inner
blackboard” dalam pikirannya.
2)
Isyarat warna, menggunakan beragam warna
sebagai “color code” untuk menentukan
materi yang menjadi prioritas, klasifikasi dan petunjuk jawaban.
3)
Gambar metafora, digunakan untuk mengekspresikan
ide melalui citra visual. Tujuannya melihat hubungan antara materi yang telah dipelajari,
kunci untuk konsep yang harus dikuasai siswa.
4)
Sketsa ide, digunakan untuk membantu siswa
mengungkapkan pemahaman terhadap pelajaran. Caranya adalah meminta siswa untuk
menggambarkan pokok pikiran, ide utama, tema sentral dan konsep inti yang dipikirkan.
5)
Simbol grafis, teknisnya adalah guru menuliskan
kata dan melukis gambar di papan tulis.
d.
Strategi
pengajaran untuk Kecerdasan Kinestetik. Strategi berikut bertujuan untuk
mengintregasikan aktivitas kinestetik ke dalam pelajaran matematika, membaca
dan sains. Ada lima strategi pokok yang dapat digunakan, yaitu:
1)
Jawaban tubuh, caranya guru meminta siswa untuk
merespon intruksi guru melalui gerakan anggota tubuh sebagai media ekspresi.
2)
Teater kelas, guru meminta siswa
mendramatisasikan atau bermain peran terhadap teks, masalah atau materi
pelajaran.
3)
Konsep kinestetik, caranya adalah mentransformasikan
informasi dari simbol logika atau bahasa menjadi ekspresi kinestetik, misalnya
melalui pantomim.
4)
Pengalaman sendiri, caranya adalah melibatkan siswa
dalam eksperimen di laboratorium atau memanipulasi satu objek.
5)
Peta badan, caranya guru menggunakan anggota
badan sebagai alat mentransformasikan domain pengetahuan, misalnya penggunaan
jari untuk menghitung.
e.
Strategi
pengajaran untuk Kecerdasan Musikal. Strategi ini akan membantu
mengintegrasikan musik ke dalam kurikulum. Strategi tersebut, yaitu:
1)
Irama, lagu, nyanyian, ketukan; cara yang paling sederhana
adalah mengeja kata-kata dengan irama.
2)
Diskografis, guru mengaitkan materi dengan
lagu tertentu dan setelah itu siswa diminta untuk mendiskusikan lagu tersebut.
3)
Musik supermemori, adalah pengajaran materi yang
dilatarbelakangi oleh alunan musik dan dapat lebih lama diingat.
4)
Konsep musik, nada musik dapat digunakan
sebagai alat untuk mengekspresikan konsep, bagian dan skema dengan mata
pelajaran, misalnya penggunaan nada untuk menggambar bangunan.
5)
Musik suasana hati, adalah menggunakan lagu atau
suasana emosi untuk pelajaran tertentu, misalnya musik klasik dan kontemporer.
f.
Strategi
pengajaran untuk Kecerdasan Interpersonal. Berikut ini akan dikemukakan
strategi yang dapat membantu siswa memiliki rasa memiliki dan berhubungan
dengan orang lain, yaitu:
1)
Berbagi dengan rekan sebaya, misalnya melalui ungkapan
“Pandanglah teman anda dan kemukakan...” atau “kemukakan pertanyaan Anda
terhadap materi yang dikemukakan”.
2)
Patung, caranya adalah merefleksikan
ide, konsep, atau tujuan belajar ke dalam bentuk patung orang.
3)
Kelompok kooperatif, adalah menggunakan kelompok
kecil untuk membahas materi pelajaran dan akan mempresentasikan semua spektrum
kecerdasan.
4)
Permainan, dilakukan dalam konteks
informal, misalnya melalui canda diskusi, melempar dadu, dan tertawa.
g.
Strategi
pengajaran untuk Kecerdasan Intrapersonal. Pada kesempatan tertentu guru harus
memberikan kesempatan kepada siswa untuk merasa pribadi yang unit dan otonom.
Strategi yang dapat digunakan adalah:
1)
Refleksi satu menit, caranya adalah memberikan
kesempatan selama satu menit kepada siswa untuk melakukan intropeksi atau
berpikir mendalam disela pelajaran atau diskusi.
2)
Koneksi personal, adalah upaya guru untuk
membantu siswa mengaitkan apa yang sedang dipelajari dengan kehidupan
sebenarnya
3)
Simulasi, caranya adalah guru membentuk
lingkungan “as-if” atau mengajak ke lokasi kejadian yang sebenarnya.
4)
Waktu memilih, artinya guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk memilih pengalaman belajar yang diinginkannya.
5)
Moment perasaan dan nada, guru berusaha menciptakan
beragam ekspresi emosi dalam belajar.
Multiple intelligence dan
manajemenkelas,
kelas merupakan lingkungan lingkungan sosial kecil dan dipenuhi oleh siswa
dengan beragam kebutuhan dan minat. Konsekuensinya adalah aturan, regulasi, dan
prosedur merupakan infrastruktur penting dalam kelas. Teori multiple
intelligence memberikan perspektif baru kepada guru dalam manajemen kelas.
Berikut ini dikemukakan aplikasi teori multiple intelligence untuk menarik
perhatian siswa, mengkomunikasikan aturan, membentuk kelompok, dan manajemen
kelas.
Untuk
menarik perhatian siswa:
a.
Strategi
bahasa; menulis kata diam di papan tulis.
b.
Strategi
musikal; beretepuk tangan dengan irama dan kemudian diikuti siswa.
c.
Strategi
kinestetik; meletakkan jari di bibir.
d.
Strategi
pemahaman ruang; menyajikan gambar kelas yang penuh perhatian.
e.
Strategi
matematika; menggunakan sropwatch untuk menghitung waktu yang digunakan siswa
untuk memusatkan perhatian.
f.
Strategi
interpersonal; membisikkan ke telinga siswa “saatnya mulai” dan kemudian pesan
berantai kepada siswa lain.
g.
Strategi
intrapersonal; mulai mengajar dan biarkan siswa menyesuaikan sendiri
perilakunya.
Untuk
mengkomunikasikan aturan:
a.
Komunikasi
bahasa; aturan yang telah ditulis ditempel di kelas.
b.
Komunikasi
matematika-logika; aturan diberi nomor dan ditulis “Anda melanggar nomor...”.
c.
Komunikasi
pemahaman ruang; aturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
ditulis dengan simbol grafis.
d.
Komunikasi
kinestetik; setiap aturan memiliki bahasa tubuh khusus dan siswa mengikuti
setiap bahasa tubuh berbeda.
e.
Komunikasi
musikal; aturan dirancang menjadi satu lagu atau setiap aturan terkait dengan
lagu tertentu.
f.
Komunikasi
interpersonal; setiap kelompok ditentukan orang yang bertanggung jawab dalam
menafsirkan, mengetahui dan memperkuat aturan.
g.
Komunikasi
intrapersonal; siswa diberi kebebasan untuk menciptakan aturan pada saat awal
sekolah dan cara mengkomunikasikannya.
Untuk
membentuk ruang:
a.
Strategi
bahasa; pikirkan huruf vokal pada awal nama masing-masing, kemudian keliling
ruang dan temukan tiga sampai empat orang yang sama vokalnya.
b.
Strategi
matematika-logika; “saat diberi tanda, saya ingin kalian mengangkat antara satu
dan lima jari dengan tiga atau empat orang yang mengangkat jari yang merupakan
kombinasi total lima belas”.
c.
Strategi
pemahaman ruang; “cari tiga atau empat orang yang memiliki warna pakaian sama
dengan anda”.
d.
Strategi
kinestetik; “mulai melompat dengan satu kaki...sekarang cari tiga atau empat
orang yang melompat dengan kaki yang sama”.
e.
Strategi
musikal; “lagu apa yang Anda ingat? Catat di papan tulis, kemudian kamu
mencatat lagu yang akan saya bisikkan, dan kemudian saya minta Anda menyanyikan
lagu tersebut dan temukan orang yang menyanyikan lagu yang sama”.
Untuk
manajemen perilaku individual:
a.
Metode
disiplin dengan bahasa; berbicara dengan siswa, memberikan buku yang memuat
masalah, membantu siswa menggunakan “self-talk” untuk mengendalikan diri,
bercerita tentang hal yang berkaitan dengan disiplin.
b.
Metode
matematika-logika; menggunakan pendekatan logika konsekuensi, menunjukkan
jumlah dan bagan pelanggaran perilaku dan perilaku positif.
c.
Metode
pemahaman ruang; memberikan siswa gambar atau visualisasi perilaku yang tepat,
menggunakan metafora, menunjukkan slide atau film tentang model perilaku yang
baik.
d.
Metode
kinestetik; bermain peran tentang perilaku yang tepat dan tidak tepat,
mengajarakan siswa menggunakan isyarat tubuh mengatasi situasi stres.
e.
Metode
musik; mencari musik yang sesuai dengan masalah yang dihadapi siswa, memberikan
musik yang dapat merefleksikan perilaku yang tepat, mengajar siswa dengan
memainkan lagu favorit dalam pikiran ketika mereka kehilangan kendali.
f.
Metode
interpersonal; konseling rekan sebaya, menyesuaikan siswa dengan model peran,
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengasuh anak kecil, memberikan
kesempatan siswa untuk memamerkan energinya.
g.
Metode
intrapersonal; konseling individual, kontrak perilaku, memberikan kesempatan
kepada siswa untuk melakukan kegiatan yang paling menarik minat, memberikan
aktivitas untuk meningkatkan harga diri.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendekatan
pembelajaran pada hakikatnya merupakan kerangka acuan yang dianut seorang guru
dalam praktek pembelajaran yang dilakukan melalui pengorganisasian siswa dan
pengolahan pesan untuk mencapai sasaran belajar berupa peningkatan kemampuan
kognitif, afektif dan psikomotor serta kepribadian siswa secara keseluruhan.
Pendekatan
Holistik atau terpadu dalam pembelajaran, diilhami oleh Psikologi Gelstalt yang
dipelopori oleh Wertheimer, Koffka, dan Kohler. Menurut mereka, objek atau
peristiwa tertentu akan dipandang oleh individu sebagai suatu keseluruhan yang
terorganisasikan. Aplikasi, teori Gestalt dalam pendekatan pembelajaran antara
lain adalah dalam hal-hal sebagai berikut (Moh.Surya, 1999): pengalaman
memahami (insight), pembelajaran yang
bermakna (meaningful learning),
perilaku bertujuan (purposive behavior),
prinsip ruang hidup (file space), dan
transfer dalam pembelajaran.
Para
penganut kontruktivisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah merupakan
kontruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta
dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, tetapi merupakan konstruksi
kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya.
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada di sana dan orang tinggal
mengambilnya tetapi merupakan suatu bentukan terus-menerus dari seseorang yang
setiap kali mengadakan reorganisasi karena munculnya pemahaman yang baru (Paul
Suparno, 1977).
Kontruktivisme
meletakkan kebenaran dari pengetahuan dengan viabilitisnya, yaitu berlakunya
konsep atau pengetahuan itu dalam penggunaan. Semakin dalam dan luas suatu pengetahuan
dapat digunakan, semakin luas kebenarannya. Dalam kaitan ini maka pengetahuan
tarafnya, mulai dari yang berlaku secara terbatas sampai yang lebih umum
sehingga pengetahuan itu ada batasnya.
Von
Glaserfeld membedakan tiga level pengetahuan dan kenyataan, yakni hipotetik,
dan kontruktivisme yang biasa. M. solehuddin (1999) merumuskan sejumlah
pemikiran yang memungkinkan aktivitas belajar anak SD lebih bermakna dengan
menerapkan prinsip konstruktivisme.
Dengan
mengacu kepada pendapat Walter dan Marks (1981), Wisnubrata selanjutnya
mengemukakan definisi lain yaitu:
“Experiental learning merupakan suatu urutan peristiwa satu atau
lebih tujuan belajar yang ditetapkan, yang mensyaratkan keterlibatan siswa
secara aktif pada salah satu hal yang dipelajari dalam urutan itu. Pelajaran
disajikan, diilustrasikan, disoroti, dan didukung melalui keterlibatan siswa.
Prinsip utama experiental learning
ini adalah seseorang belajar paling baik apabila ia melakukannya.”
Menurut
Hendrojuwono, pelaksanaan experiental learning
meliputi lima tahapan, yaitu: tahap pengantar, tahap debriefing, tahap
rangkuman, dan tahap evaluasi.
Salah
satu perubahan yang paling sederhana dan paling jelas serta berterus terang
dalam experiental learning adalah
melalui umpan balik. Umpan balik yang digunakan dalam experiental learning ini bertujuan untuk memperoleh kompetensi
(kesanggupan) untuk memberi dan menerima secara wajar, bukan sebagai upaya
terapi. Siswa dianggap sebagai individu yang sadar, terbuka, dan mempercayai
orang lain. Berarti umpan balik yang dipertukarkan harus jelas, tidak bersifat
evaluatif, dan dapat diuji langsung.
Konsep
dasar Multiple Intelligence
diungkapkan oleh Howard Gadner dalam bukunya “Frames of Mind: yang berbunyi “our culture defined intelligence too
narrowly” merupakan dasar pemikiran munculnya teori Multiple Intelligence. Ia memandang bahwa ruang lingkup potensi
manusis melebihi skor IQ dan tidak terbatas hanya pada kemampuan memecahkan
masalah dan menghasilkan produk.
Gadner
(Thomas Amstrong. 1994) telah melakukan pemetaan kemampuan manusia ke dalam
tujuh kategori intelegensi yang lebih komprehensif yaitu: kecerdasan bahasa,
kecerdasan, matematika-logika, kecerdasan pemahaman ruang, kecerdasan
kinestetik, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan
intrapersonal.
B.
Saran
Sebagai
calon guru hendaknya kita memilih menggunakan pendekatan pembelajaran model
seperti apa, usahakan untuk mengetahui kebutuhan yang cocok untu berbagai macam
karakteristik siswa, dan jangan memaksakan menggunakan pendekatan pembelajaran
namun bertentangan dengan realita siswa. Sehingga dapat dicapai hasil belajar
siswa yang memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Endra Maulana. (2014). Dunia Informasi Pendidikan Teraktual.
(Online).
(http://www.informasi-pendidikan.com/2014/01/pengertian-pendekatan.html?m=1, dikunjungi 4 November 2013).
Mikarsa, H.L,
dkk. (2005). Pendidikan Anak Di SD.
Jakarta:Universitas Terbuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar