Rabu, 24 Juni 2015

Pendekatan Pembelajaran Di Sekolah Dasar



PENDEKATAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah
PENDIDIKAN ANAK DI SD
Yang dibimbing oleh:
Dosen: Drs. H. Zainuddin, M.Pd

Disusun Oleh:
Utami Rukmaliani (F37012031)
Kelas: 5A Reguler A



PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN PENDIDIKAN DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2014


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang  telah  memberikan  Rahmat  dan  Hidayah-Nya  kepada  kita,  dan  tidak  lupa  pula  kami  mengucapkan  Do’a  beserta  salam  kepada  Nabi  junjungan  kita  yakni  Nabi  Muhammad  SAW  yang  telah  membawa  kita  dari  alam  yang  tidak  berpendidikan  ke  alam  yang berpendidikan,  seperti  yang  dapat  kita  rasakan  sekarang  ini. 
Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terkait dan membantu dalam menyelesaikan makalah ini, yakni:
1.             Tuhan Yang Maha Esa
2.              Drs. H. Zainuddin, M.Pd selaku Dosen Mata Kuliah Pendidikan Anak di SD.
3.             Orang tua saya yang selalu mendukung.
4.             Teman-teman yang selalu dukungan, kritikan, dan saran.
Kami menyusun Makalah Pendekatan Pembelajaran di Sekolah Dasar ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen Mata Kuliah Pendidikan Anak di SD dan agar bisa dimanfaatkan ke arah yang lebih baik bagi pembacanya.
Dalam penulisan Makalah ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki, maka dari itu kami senantiasa menerima kritikan dan saran dari pembaca Makalah ini.


Pontianak, 10 November 2014

Kelompok 10


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR .....................................................................................   i
DAFTAR ISI ...................................................................................................   ii
BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................   1
A.           Latar Belakang .........................................................................   1
B.            Rumusan Masalah ....................................................................   1
C.            Tujuan Penulisan ......................................................................   2
D.           Manfaat Penulisan ....................................................................   2
BAB II  PENDEKATAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR .........   3
A.           Pendekatan Pembelajaran Holistik dan Kontruktivisme  .........   3
1.             Pengertian Pendekatan Pembelajaran ..............................   3
a.              Pendekatan holistik ................................................   4
b.             Pendekatan kontruktivisme ....................................   6
B.            Pendekatan Pembelajaran Experiential Learning dan Multiple
Intelligence ................................................................................ 10
1.             Pendekatan Experiential Learning .................................... 10
2.             Pendekatan Multiple Intelligence .................................... 13
BAB III PENUTUP ........................................................................................   21
A.           Kesimpulan ..............................................................................  21
B.            Saran ........................................................................................  22
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................    iii


BAB I
PENDAHULUAN

A.            Latar Belakang
Arus globalisasi yang semakin canggih saat ini sangat memberikan peluang yang besar kepada setiap individu, termasuk di dalamnya siswa Sekolah Dasar, untuk mengakses berbagai informasi dengan mudah. Melalui informasi tersebut, mereka dapat belajar banyak tentang berbagai hal yang dibutuhkannya.
Fenomena ini tidak berarti akan menggeser posisi guru dalam proses pembelajaran, justru peran guru akan semakin penting. Gurulah yang memiliki posisi strategis untuk mengorganisasikan siswa, menyeleksi informasi yang penting, dan mengolah pesan sehingga tercipta suasana yang dapat menimbulkan keinginan dalam diri siswa untuk melakukan aktivitas belajar. Sehingga guru dituntut untuk menguasai berbagai pendekatan pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran sendiri memiliki arti suatu sudut pandang tentang proses pembelajaran yang masih dalam arti umum yang di dalamnya dapat mewadahi, menguatkan, memberikan inspirasi. Penting untuk diperhatikan adalah mana yang cocok untuk diterapkan pada proses pembelajaran. Adapun pendekatan yang dipilih merupakan hasil dari penelaahan dan solusi yang tepat dengan kondisi yang tepat pula.
Sebagai calon guru yang akan mengelola Sekolah Dasar, hendaknya kita memahami bagaimana anak seusia SD melakukan aktivitas belajar sehingga dapat menjadi fasilitator yang tepat bagi berlangsungnya belajar siswa. Diperlukan pijakan yang jelas dan telah teruji keandalannya. Di sini kita akan memahami mengenai berbagai pembelajaran di Sekolah Dasar. Ada empat pendekatan pembelajaran yang akan dibahas, yakni: Holistik, Kontruktivisme, Experiental Learning, dan Multiple Intelligence.
Pendekatan pembelajaran tersebut merupakan pembelajaran kontemporer yang sedang trend dan digunakan di Sekolah Dasar saat ini yang telah teruji secara empirik. Namun demikian, pendekatan pembelajaran tersebut dalam penerapannya pada konteks Sekolah Dasar di Indonesia perlu pengkajian kreasi dari para guru.
Akan lebih baik jika keunggulan dari masing-masing pendekatan itu bukan diterapkan secara lugas melainkan dikreasikan kembali sehingga muncul pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan konteks Indonesia.


B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan umum dalam makalah ini adalah: “Bagaimana pendekatan pembelajaran di Sekolah Dasar?”.
Sub-sub masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.             Apakah pedekatan pembelajaran Holistik?
2.             Apakah pedekatan pembelajaran Kontruktivisme?
3.             Apakah pedekatan pembelajaran Experiental Learning?
4.             Apakah pedekatan pembelajaran Multiple Intelligence?




C.            Tujuan Penulisan
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan penulisan umum dalam makalah ini adalah: “Memahami berbagai pendekatan pembelajaran di Sekolah Dasar”.
Sub-sub tujuan dari penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.             Memahami pendekatan pembelajaran Holistik.
2.             Memahami pendekatan pembelajaran Kontruktivisme.
3.             Memahami pendekatan pembelajaran Experiental Learning.
4.             Memahami pendekatan pembelajaran Multiple Intelligence.


D.            Manfaat penulisan
Adapun manfaat dalam penulisan makalah ini baik bagi penulis maupun pembaca  adalah sebagai berikut:
1.      Agar dapat mengetahui berbagai macam pendekatan pembelajaran di Sekolah Dasar seperti pendekatan pembelajaran Holistik,  pendekatan pembelajaran Kontruktivisme, pendekatan pembelajaran Experiental Learning  dan pendekatan pembelajaran Multiple Intelligence.
2.        Agar dapat diaplikasikan di masa yang akan datang.
 BAB II
PENDEKATAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR

A.            Pendekatan Pembelajaran Holistik dan Konstruktivisme

1.             Pengertian Pendekatan Pembelajaran
Ada dua istilah yang berkaitan erat dengan pembelajaran, yaitu pendidikan dan pelatihan. Pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan dan pengembangan kepribadian, sehingga memiliki pengertian yang lebih luas. Sedangkan pelatihan lebih menekankan pada pembentukan keterampilan. Pendidikan dilaksanakan dalam lingkungan sekolah, sedangkan pelatihan pada umumnya dilaksanakan dalam lingkungan industri. Akan tetapi, pendidikan kepribadian saja belum cukup. Para siswa perlu juga memiliki keterampilan agar dapat bekerja, bereproduksi, dan menghasilkan berbagai hal yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, kedua istilah tersebut hendaknya tidak dapat dipisahkan  melainkan perlu dipadukan dalam suatu proses yang disebut pengajaran.
 Perumusan tujuan merupakan hal yang utama dalam setiap proses pengajaran agar senantiasa dapat diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sehingga, proses pengajaran harus direncanakan agar dapat dikontrol sejauh mana tingkat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Itu sebabnya, suatu sistem pengajaran selalu mengalami dan mengikuti tiga tahapan, yakni:
a.             Tahap analisis untuk menentukan dan merumuskan tujuan;
b.             Tahap sintesis yaitu tahap perencanaan proses yang akan ditempuh;
c.             Tahap evaluasi untuk menilai tahap pertama dan kedua. (Oemar Hamalik, 1999)
Makna pembelajaran menurut Oemar Hamalik (1999) merupakan suatu sistem yang tersusun dari unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi pencapaian tujuan pembelajaran. Manusia yang terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Material yang meliputi buku-buku, papan tulis dan kapur, fotografi, slide dan film, audio dan video tape, serta material lainnya. Fasilitas dan perlengkapan, terdiri atas ruangan kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer. Sedangkan prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktek, belajar, ujian, dan sebagainya.
Rumusan makna pembelajaran tersebut mengandung isyarat bahwa proses pembelajaran tidak terbatas dilaksanakan dalam ruangan saja, melainkan  dapat dilaksanakan di sembarang tempat dengan cara membaca buku, informasi melalui film, surat kabar, televisi, internet, dan sebagainya tergantung kepada organisasi dan interaksi antara berbagai komponen yang saling berkaitan, untuk membelajarkan siswa.
Dengan semakin meluas dan cepatnya arus informasi di era global, makin memudahkan para siswa mengakses berbagai informasi yang gilirannya dapat mempermudah terjadinya perilaku belajar. Namun demikian, hal tersebut tidak otomatis menumbuhkan keinginan siswa untuk belajar. Untuk itu, peran guru dan upaya bagaimana membelajarkan siswa tetap dianggap penting.
Dalam kegiatan belajar mengajar di Sekolah Dasar yang pada umumnya menganut sistem guru kelas, setiap guru mengajarkan semua bidang studi, kecuali Agama dan Olah raga pada kelas binaannya. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya keterampilan mengorganisasi siswa agar mereka dapat belajar. Guru juga menghadapi bahan pengetahuan yang berasal dari buku teks, dari kehidupan, sumber informasi lain, atau kenyataan di sekitar sekolah. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya keterampilan yang dimiliki guru untuk mengolah pesan. Pembelajaran juga berarti meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan keterampilan siswa yang dikembangkan bersama dengan perolehan pengalaman belajar sesuatu.
Perolehan pengalaman-pengalaman tersebut merupakan suatu proses yang berlaku secara deduktif, induktif, atau proses yang lain. Dengan menghadapi sejumlah siswa, berbagai pesan yang terkandung dalam bahan ajar, peningkatan kemampuan siswa, dan proses perolehan pengalaman, maka setiap guru memerlukan pengetahuan tentang pendekatan pembelajaran (Dimyati dan Mudjiono, 1999).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran pada hakikatnya merupakan kerangka acuan yang dianut seorang guru dalam praktek pembelajaran yang dilakukan melalui pengorganisasian siswa dan pengolahan pesan untuk mencapai sasaran belajar berupa peningkatan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor serta kepribadian siswa secara keseluruhan.

a.             Pendekatan Holistik
Pendekatan Holistik atau terpadu dalam pembelajaran, diilhami oleh Psikologi Gelstalt yang dipelopori oleh Wertheimer, Koffka, dan Kohler. Menurut mereka, objek atau peristiwa tertentu akan dipandang oleh individu sebagai suatu keseluruhan yang terorganisasikan. Suatu objek atau peristiwa akan dapat dilihat maknanya jika diamati dari segi keseluruhannya dan keseluruhan itu bukan jumlah bagian-bagian. Sebaliknya suatu bagian baru akan bermakna jika berada dalam kaitan dengan keseluruhan. Produk pembelajaran seharusnya tidak dilihat dari dampaknya terhadap salah satu aspek individual siswa, melainkan harus dari keseluruhan aspek yang yang mencakup dimensi fisik, sosial, kognitif, emosi, moral dan kepribadian secara utuh.
Aplikasi, teori Gestalt dalam pendekatan pembelajaran antara lain adalah dalam hal-hal sebagai berikut (Moh.Surya, 1999):
1)             Pengalaman memahami (insight)
Berdasarkan percobaannya, Kohler menyatakan bahwa memahami memegang peranan penting dalam perilaku. Sehubungan dengan hal itu dalam proses pembelajaran, hendaknya guru membantu siswa agar para siswa memiliki kemampuan insight yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu objek atau peristiwa. Guru juga hendaknya mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan proses insight.


2)             Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning)
Kebermaknaan unsur-unsur yang terkait dalam suatu objek atau peristiwa, akan menunjang pembentukan insight dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur, akan makin efektif sesuatu dipelajari. Oleh karena itu aturan-aturan yang mendasari unsur-unsur dalam suatu objek hendaknya dipahami dan dijadikan dasar dalam pengembangan insight dan pemahaman keseluruhan objek atau peristiwa. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif dan pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari siswa hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3)             Perilaku bertujuan (purposive behavior)
Prinsip ini dikembangkan oleh Edward Tolman yang meyakini bahwa pada hakikatnya perilaku itu terarah kepada suatu tujuan. Perilaku bukan hanya sekedar hubungan antara stimulus dan respon (tindak balas), akan tetapi adanya keterkaitan yang erat dengan tujuan atau sesuatu yang ingin diperoleh. Bagi Tolman, pembelajaran terjadi karena siswa membawa harapan-harapan (expectancies) tertentu ke dalam situasi pembelajaran. Berdarkan prinsip ini, proses pembelajaran akan lebih efektif apabila dapat membantu siswa untuk mengenal tujuan yang akan dicapainya, selanjutnya mampu mengarahkan perilaku belajarnya ke tujuan tersebut. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu siswa dalam memahami tujuan itu untuk selanjutnya mengembangkan aktivitas pembelajaran yang efektif.
4)             Prinsip ruang hidup (file space)
Konsep ini dikembangkan oleh Kurt Lewin dalam teori medan (filed theory) yang menyatakan bahwa perilaku individu mempunyai keterkaitan dengan lingkungan atau medan di mana ia berada. Individu berada dalam suatu lingkungan medan psikologis yang mempunyai pola-pola perilakunya. Prinsip ini mengimplikasikan adanya padanan dan kaitan antara proses pembelajaran dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungan. Materi yang diajarkan guru hendaknya memiliki padanan dan kaitan dengan situasi kondisi lingkungannya.
5)             Transfer dalam pembelajaran
Transfer dalam pembelajaran adalah pemindahan pola-pola perilaku dari suatu situasi pembelajaran tertentu kepada situasi lain. Sesuai dengan teori Gestalt, pembelajaran mempunyai makna sebagai proses membentuk suatu pola Gestalt atau keseluruhan atau konfigurasi yang mempunyai bentuk dan arti. Menurut teori ini, transfer terjadi dengan jalan melepaskan pengertian atau objek dari suatu konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Sejalan dengan konsep Gestalt ini, Judd mengembangkan teori generalisasi dalam pembelajaran. Judd menekankan pentingnya penanganan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Menurut teori ini, transfer akan terjadi apabila siswa menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu masalah, dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Dalam hubungan dengan pembelajaran di kelas, hendaknya guru membantusiswa untuk menguasai prinsip-prinsip pokok darimateri-materi yang diajarkannya kemudian dilatihkan untuk dapat diterapkan dalam situasi-situasi lain yang mungkin berbeda sifatnya.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menampakkan keberadaan belajar sebagai proses terpadu (Depdikbud, 1988), diantaranya:
1)             Pembelajaran dapat berfungsi secara penuh untuk membantu perkembangan individu seutuhnya.
2)             Pembelajaran sebagai aktivitas membelajarkan siswa untuk pemerolehan pengalaman menempatkan siswa sebagai pusat segala-galanya.
3)             Pembelajaran dalam hal ini lebih menuntut kepada terciptanya suatu aktivitas yang memungkinkan adanya lebih banyak keterlibatan siswa secara aktif dan intensif.
4)             Pembelajaran menempatkan individu pada posisi yang terhormat dalam suasana kebersamaan di dalam penyelesaian persoalan yang dihadapinya.
5)             Pembelajaran sebagai proses terpadu mendorong setiap siswa untuk terus-menerus belajar.
6)             Belajar sebagai proses terpadu memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk memilih tugasnya sendiri, mengembangkan kecepatan belajarnya sendiri dan bekerja berdasarkan standar yang ditentukan sendiri.
7)             Pembelajaran sebagai proses terpadu dapat berfungsi dan berperan secara efektif bila diciptakan lingkungan belajar secara total yang tidak hanya memberikan dukungan fasilitas terhadap peningkatan pertumbuhan dan pengembangan salah satu aspek saja, melainkan juga semua aspek.
8)             Pembelajaran sebagai proses terpadu memungkinkan pembelajaran bidang studi tidak harus secara terpisah melainkan dilaksanakan secara terpadu.
9)             Pembelajaran sebagai proses terpadu memungkinkan adanya hubungan antara sekolah dan keluarga.


b.             Pendekatan Kontruktivisme
Cikal bakal kontruktivisme bermula dari gagasan Giambatissta Vico, seorang epistemolog Italia kemudian dimunculkan dalam tulisan Mark Baldwin yang kemudian diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget.
Para penganut kontruktivisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah merupakan kontruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada di sana dan orang tinggal mengambilnya tetapi merupakan suatu bentukan terus-menerus dari seseorang yang setiap kali mengadakan reorganisasi karena munculnya pemahaman yang baru (Paul Suparno, 1977).
Kaum kontruktivis menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu dengan inderanya. Dengan berinteraksi terhadap objek dan lingkungannya melalui proses melihat, mendengar, menjamah, membau dan merasakan, orang dapat mengetahui sesuatu.
Bagi kaum ini, pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah tertentu, tetapi merupakan proses menjadi. Menurut Von Glaserfeld, tokoh filsafat kontruktivisme di Amerika Serikat, pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) kepikiran orang yang belum punya pengetahuan (siswa). Bahkan bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide dan pengertiannya kepada siswa, pemindahan itu harus diinterprestasikan dan dikontruksikan oleh siswa sendiri dengan pengalaman mereka. Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk proses pembentukan pengetahuan itu, seperti:
1)             Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman;
2)             Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan; dan
3)             Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain.

Bagi kontruktivis, pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis. Malah secara ekstrim mereka menyatakan bahwa kita tidak dapat mengerti realitas (kenyataan) yang sesungguhnya, yang kita mengerti adalah struktur kontruksi kita akan suatu objek. Bettencourt menyatakan memang kontruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih menekankan bagaimana kita tahu atau menjadi tahu. Bagi kontruktivisme, realitas hanya ada sejauh berhubungan dengan pengamat.
Kontruktivisme meletakkan kebenaran dari pengetahuan dengan viabilitisnya, yaitu berlakunya konsep atau pengetahuan itu dalam penggunaan. Semakin dalam dan luas suatu pengetahuan dapat digunakan, semakin luas kebenarannya. Dalam kaitan ini maka pengetahuan tarafnya, mulai dari yang berlaku secara terbatas sampai yang lebih umum sehingga pengetahuan itu ada batasnya.
Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang membatasi proses kontruksi pengetahuan, yaitu:
1)             Kontruksi yang lama;
2)             Domain pengalaman kita; dan
3)             Jaringan struktur kognitif kita.

Proses dan hasil kontruksi pengetahuan kita yang lalu menjadi pembatas kontruksi pengetahuan kita yang mendatang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur yang penting dalam pembentukan dan pengembangan pengetahuan, dan keterbatasan pengalaman akan membatasi pengetahuan kita pula. Von Glaserfeld membedakan tiga level kontruktivisme dalam kaitan hubungan pengetahuan dan kenyataan, yakni kontruktivisme radikal, realisme hipotesis, dan kontruktivisme yang biasa.
Von Glaserfeld membedakan tiga level pengetahuan dan kenyataan, yakni hipotetik, dan kontruktivisme yang biasa. Kontruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai kriteria kebenaran. Bagi kaum radikal pengetahuan adalah suatu pengaturan atau organisasi dari suatu objek yang dibentuk oleh seseorang. Menurut aliran ini kita banyak tahu apa yang dikontruksi oleh pikiran kita. Pengetahuan bukanlah representasi kenyataan. Realisme hipotetik memandang pengetahuan sebagai suatu hipotesis dari struktur kenyataan dan sedang berkembang menuju pengetahuan sejati yang dekat dengan realitas. Sedangkan kontruktivisme yang biasa masih melihat pengetahuan sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek.
Dari segi subjek yang membentuk pengetahuan, dapat dibedakan amtara kontruktivisme psikologis, personal dan sosio-kulturalisme, dan kontruktivisme sosilogis. Personal dengan tokohnya Piaget menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh seseorang secara pribadi di dalam berinteraksi dengan pengalaman objek yang dihadapinya. Sosiokulturalisme yang ditokohi oleh Vygotsky, menjelaskan bahwa pengetahuan dibentuk baik secara pribadi tetapi juga oleh interaksi sosial dan kultural dengan orang-orang yang lebih tahu tentang hal itu dan lingkungan yang mendukung. Sedangkan kontruktivisme sosiologis menyatakan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh masyarakat sosial.
Pandangan kontruktivisme pengetahuan pada dasarnya dibangun oleh siswa melalui interaksi dengan lingkungan. Asumsi ini mengisyaratkan bahwa proses yang bermakna bagi siswa akan terjadi kalau ia berbuat atas lingkungannya, mengkreasi, atau memanipulasi objek. Menurut Greenberg (1984) siswa akan terlibat dalam belajar secara intensif jika ia membangun sesuatu daripada sekedar melakukan atau meniru yang diangun orang lain.
Pengetahuan baru itu dibangun anak melalui interaksi antara pengalaman eksternal dan struktur mental internal. Pentingnya interaksi sosial bagi perkembangan kognitif dan berfikir siswa juga ditegaskan oleh Vygotsky (Berk, 1994). Dengan alinea mengacu kepada pandangan kontruktivisme., Bredekamp dan Rosegrant (1992) akhirnya menyimpulkan bahwa anak akan belajar dengan baik dan bermakna apabila dalam proses pembelajaran tersebut:
1)             Anak merasa aman secara psikologis serta kebutuhan-kebutuhan fisiknya terpenuhi,
2)             Anak mengkontruksi pengetahuan,
3)             Anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa dan anak-anak lainnya,
4)             Anak belajar melalui bermain,
5)             Minat dan kebutuhan anak untuk mengetahui dapat terpenuhi, dan
6)             Unsur variasi individual anak diperhatikan.

M. solehuddin (1999) merumuskan sejumlah pemikiran yang memungkinkan aktivitas belajar anak SD lebih bermakna dengan menerapkan prinsip konstruktivisme. Jika para guru cenderung menggunakan cara pembelajaran yang terarah dengan berpusat pada guru (teacher-centered teaching approuch), tentu pendekatan itu tidak relevan dengan prinsip-prinsip pandangan konstruktivistik. Cara mengajar demikian tidak memberikan peluang kepada anak untuk mengkreasi dan membangun pengetahuan. Sebaliknya, pandangan kontruktivisme menghendaki para guru untuk menerapkan pendekatan mengajar yang berpusat pada anak (child-centered teaching approuch). Secara lebih rinci, cara pembelajaran anak yang diharapkan dapat dideskripsikan berikut ini:
1)             Orientasi mengajar tidak hanya pada segi pencapaian prestasi akademik,
2)             Untuk membuat pelajaran bermakna bagi anak, topik-topik yang dipilih dan dipelajari didasarkan pada pengalaman-pengalaman anak yang relevan,
3)             Metode mengajar yang digunakan harus membuat anak terlibat dalam suatu aktivitas langsung dan bersifat bermain yang menyenangkan atau a pleasurable hands-on and playful activity dan bukannya sekedar membuat anak mengikuti pelajaran yang alami dan bermakna,
4)             Dalam proses belajar, kesempatan anak untuk bermain dan bekerja sama dengan orang lain juga diprioritaskan.
5)             Bahan-bahan pelajaran yang digunakan hendaknya bahan-bahan yang konkrit dan kalau mungkin ini bahkan yang sebenarnya,
6)             Dalam menilai hasil belajar siswa, para guru tidak hanya menekankan aspek kognitif dengan menggunakan tes tertulis (paper-pencil test), tetapi harus pula mencakup semua domain perilaku anak yang relevan dengan melibatkan sejumlah alat penilaian,
7)             Ide di atas akhirnya diimplikasikan perlunya guru menampilkan peran utama sebagai guru dalam proses pembelajaran anak, dan bukannya sebagai transmitor pengetahuan kepada anak.


B.            Pendekatan Pembelajaran Experiential Learning dan Multiple Intelligence

1.             Pendekatan Experiential Learning
Untuk memahami makna, experiential learning, yang berarti belajar melalui penghayatan langsung atas pengalaman yang dialami, sebaiknya digunakan pengertian baku yang dapat ditemukan dalam kepustakaan. Hoover (Wisnubrata Hendrojuwana, 1990) mengungkapkan bahwa: “Experiential Learning terjadi apabila siswa secara pribadi bertanggung jawab atas proses pengetahuan, keterampilan, dan/atau sikap dan situasi belajar yang ditandai oleh taraf keterlibatan sangat aktif, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotoris.”

Definisi tersebut mengandung empat syarat:
a.             Siswa memikul tanggung jawab pribadi untuk belajar apa yang ingin dicapainya,
b.             Lebih hanya sekedar melibatkan proses-proses kognitif,
c.             Tujuan belajarnya meliputi pula aspek keterampilan dan aspek afektif, di samping tujuan yang sifatnya tradisional, yaitu mengembangkan pengetahuan, dan
d.             Bagaimanapun juga siswa itu aktif dalam proses belajar, baik secara fisik maupun secara psikologis.

Dengan mengacu kepada pendapat Walter dan Marks (1981), Wisnubrata selanjutnya mengemukakan definisi lain yaitu:
Experiential learning merupakan suatu urutan peristiwa satu atau lebih tujuan belajar yang ditetapkan, yang mensyaratkan keterlibatan siswa secara aktif pada salah satu hal yang dipelajari dalam urutan itu. Pelajaran disajikan, diilustrasikan, disoroti, dan didukung melalui keterlibatan siswa. Prinsip utama experiential learning ini adalah seseorang belajar paling baik apabila ia melakukannya.”
Dengan demikian, mengandung arti bahwa ciri experiential learning adalah sebagai berikut:
a.             Keterlibatan siswa di mana mereka aktif melakukan sesuatu,
b.             Terjadi relevansi terhadap topik pada experiential learning,
c.             Tanggung jawab siswa dalam experiential learning ditingkatkan,
d.             Penggunaan experiential learning bersifat luwes, baik setting-nya, siswanya, maupun tipe pengalaman belajarnya (termasuk tujuannya).

Menurut Hendrojuwono, pelaksanaan experiential learning meliputi lima tahapan, yaitu:
a.             Tahap Pengantar, tahap ini dimulai dengan menciptakan iklim belajar yang diinginkan dan mengemukakan rencana serta persiapan yang telah dibuat, yaitu menentukan sifat keseluruhan pengalaman, yang menyangkut keterlibatan, keterbukaan pada pengalaman, pengambilan risiko, orientasi pada proses, dan tanggung jawab siswa maupun guru. Biasanya pada tahap ini terjadi kontrak belajar atau psychological contract, yaitu menyatukan harapan-harapan siswa dengan apa yang bisa diberikan guru.
b.             Tahap Kegiatan, tahap ini menyangkut aspek-aspek mekanikal material, ruangan, dan susunan siswa, pemberian petunjuk, dan pembagian waktu. Terjadi penegasan keterlibatan, kehadiran, dan tanggung jawab siswa dan guru. Tanggung jawab siswa perlu dikembangkan dalam hal kesadaran, perbuatan, konsentrasi, dan memberi proses.
c.             Tahap Debriefing, tahap ini terutama meliputi diskusi tentang kegiatan yang telah diselesaikan dengan memberi detail, urutan, dan maknanya bagi pengalaman siswa. Perlu pula disoroti perbedaan isi dan proses, karena isi kegiatan menyangkut materi dan teknik yang digunakan untuk menggambarkan hal itu, sedangkan proses menyangkut umpan balik, sharing, serta reaksi terhadap umpan balik dan sharing itu. Guru perlu memberi contoh bagaimana memberi umpan balik yang sesuai dengan persyaratan yang berlaku dan bagaimana memanfaatkan umpan balik yang diterima.
d.             Tahap Rangkuman, rangkuman bisa menyangkut kegiatan khusus atau kegiatan keseluruhan. Rangkuman kegiatan khusus, guru tidak hanya menyoroti isi dan proses kegiatannya, tetapi juga mengintegrasikan penelitian teoritis dan empiris dengan pengalaman siswa dalam situasi belajar. Guru dapat memberi semacam ceramah, tetapi disertai pula dengan sharing perasaan dan reaksi dengan siswa.
Pada rangkuman seluruh kegiatan, guru mengintegrasikan pengalaman belajar dan pengalihannya dari pengalaman belajar yang mencolok pada situasi-situasi atau keadaan-keadaan lain.
Pada akhir rangkuman guru perlu mempersiapkan siswa untuk melakukan pengalihan transferring dan penerapan pengalaman belajarnya pada kehidupan nyata. Salah satu keuntungan peserta adalah bahwa mereka dapat saling mendukung penerapannya dalam situasi sebenarnya, karena setelah selesai kegiatan itu mereka masih merupakan satu kelompok yang tetap untuk jangka waktu yang cukup panjang.
e.             Tahap Evaluasi, biasanya menyangkut evaluasi keberhasilan atau efektivitas pengalaman belajar yang bisa berupa kegiatan tunggal atau keseluruhan pengalaman.

Ada beberapa teknik pembelajaran yang dianggap tepat untuk digunakan merangsang perubahan tingkah laku selama experiential learning yaitu: Simulasi, Latihan terstruktur, dan Interaksi Kelompok.
Teknik Simulasi adalah metode atau gambaran beberapa segi pengalaman manusia, yang di dalamnya mengandung perangkat aturan, pedoman, dan peralatan yang dapat menggambarkan, mencerminkan, dan menirukan proses, kejadian, atau kondisi yang sebenarnya. Dibandingkan dengan teknik lain simulasi memiliki nilai lebih, karena sifatnya yang khas itu juga sangat potensial untuk menggali proses perubahan yang terjadi. Melihat potensinya yang sangat besar itu, maka teknik ini dilakukan sebagai teknik utama. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah dengan permainan.
Latihan terstruktur adalah kegiatan yang digunakan untuk melibatkan siswa secara langsung pada isi pengalaman atau dengan siswa lain. Teknik ini terdiri atas prosedur yang ditentukan secara jelas langkah demi langkah, dan dimaksudkan untuk memberi kesempatan agar siswa akrab dengan keterampilan praktis, membangkitkan perasaan dan reaksi mereka, serta mendorongnya bergerak menuju ke arah pengalaman belajar.
Dalam teknik interaksi kelompok, siswa diminta saling berbagi atau sharing pengalaman tentang apa yang terjadi dalam kelompoknya. Dengan cara itu diharapkan kesadaran diri siswa lebih meningkat dan dapat lebih menyadari orang lain serta lebih memahami tingkah laku individu maupun kelompok. Penggunaan teknik ini lebih menitikberatkan pada proses kelompok daripada diskusi.
Salah satu perubahan yang paling sederhana dan paling jelas serta berterus terang dalam experiential learning adalah melalui umpan balik. Dibandingkan dengan proses perubahan lainnya, seperti misalnya pelaziman conditioning, maka umpan balik merupakan salah satu unsur perubahan pribadi dalam experiential learning yang paling luas dibicarakan dan digunakan Walter dan Marks (dalam Wisnubrata Hendrojuwono, 1990)
Umpan balik memiliki empat aspek, yaitu bisa bersifat penginderaan dinamis, atau bersifat statis, bisa intrinsik atau ekstrinsik, bisa positif atau negatif, dan bisa pula bersifat informal atau konfrontasional.
Umpan balik penginderaan dinamis berhubungan dengan stimuli yang membangkitkan gerakan yang secara intrinsik memberi jalan bagi pengaturan gerakan dalam kaitannya dengan lingkungan. Pengetahuan akan hasil diberikan sesudah suatu respon, yaitu akibat sesudahnya yang statis, yang dapat memberi informasi tentang ketepatan, tetapi tidak mungkin memberi stimuli yang mengatur secara dinamis. Indikasi umpan balik mengenai kesalahan akan lebih efektif pada tampilan kerja dan belajar daripada pengetahuan akan hasil yang sifatnya statis.
Pengetahuan akan hasil intrinsik terjadi apabila seseorang melakukan banyak tugas, misalnya pada waktu mengendarai mobil individu akan secara konstan memperoleh umpan balik tentang di mana letak kakinya melalui otot-ototnya. Pengetahuan akan hasil yang ekstrinsik memberikan bimbingan eksternal tentang konsekuensi perbuatannya, misalnya jarum penunjuk kecepatan mobil memberikan pengetahuan akan hasil ekstrinsik yang memungkinkan pengemudi menyesuaikan kecepatan mobil dengan pijakan pedal gas.
Umpan balik positif terjadi pabila isyarat-isyarat diberikan sedemikian rupa sehingga meningkatkan penyimpanan keluaran dari keadaan yang mantap. Sebaliknya jika menurunkan penyimpangan disebut umpan balik negatif. Putaran umpan positif sangat diharapkan bagi pengembangan dan perluasan seperti dalam pengembangan pribadi melalui experiential learning. Umpan balik negatif sebagai prasyarat yang diperlukan bagi semua tingkah laku yang mempunyai maksud tertentu, karena akan membantu sistem ke arah keseimbangan atau menuntun tingkah laku ke arah tujuan yang ditetapkan.
Umpan balik informal hanya memberi informasi pada individu, sedangkan umpan balik konfrontasional di samping memberi informasi juga lebih menuntut kepada penerima. Umpan balik konfrontasional ditujukan terhadap kurangnya kesadaran atau ketidaksesuaian tingkah laku seseorang dan pada hal-hal yang mempunyai makna sangat pribadi, misalnya diberikan kepada seseorang yang tidak menyadari bahwa tingkah lakunya menyinggung perasaan orang lain.
Dalam pendekatan experiential learning, peran umpan balik untuk mrngubah tingkah laku sangat besar. Perhatian utama adalah pada pemahaman terhadap bagaimana umpan balik itu bekerja dan juga bagaimana individu bisa dituntun agar menguasai teknik-teknik memberi dan menerima umpan balik secara efektif.
Umpan balik yang digunakan dalam experiential learning ini bertujuan untuk memperoleh kompetensi (kesanggupan) untuk memberi dan menerima secara wajar, bukan sebagai upaya terapi. Siswa dianggap sebagai individu yang sadar, terbuka, dan mempercayai orang lain. Berarti umpan balik yang dipertukarkan harus jelas, tidak bersifat evaluatif, dan dapat diuji langsung. Penerima umpan balik akan mengevaluasi kebaikan atau keburukan isi umpan balik itu. Untuk kepentingan itu suasana experiential learning perlu dibuat sedemikian rupa sehingga pemberi umpan balik harus mempunyai maksud yang konstruktif dan penerimanya harus mempunyai keinginan untuk belajar, sehingga sifat umpan baliknya adalah konstruktif dan konfrontasional.
Persyaratan umpan balik dalam pembelajaran hubungan antarpribadi adalah sebagai berikut:
a.             Dimaksudkan untuk membantu penerima,
b.             Diberikan secara lansung, disertai perasaan yang sebenarnya, dan didasarkan pada rasa saling percaya antar pemberi dan penerima,
c.             Bersifat deskriptif (menguraikan tingkah laku), bukan bersifat evaluatif (evaluasi sifat kepribadian),
d.             Spesifik, bukan bersifat umum, disertai contoh yang jelas yang baru saja disadari,
e.             Diberikan pada saat penerima tampak berada dalam kondisi siap menerimanya,
f.              Dicek pada siswa lain dalam kelompok itu untuk meyakinkan keahliannya,
g.             Dibatasi pada hal-hal yang diharapkan untuk dilakukan penerima,
h.             Dibatasi pada hal-hal yang dapat dilakukan penerima dalam waktu tertentu.

Dengan pendekatan pembelajaran semacam ini siswa dapat saling mendorong untuk mengembangkan kesediaan dan kemampuan mengambil risiko, memikul tanggung jawab, serta mempertimbangkan realitas yang dihadapi. Mereka mengawalinya dalam kelompok selama pembelajaran pelatihan berlangsung dan kemudian menggunakan dalam situasi kehidupan nyata.
Siswa juga diharapkan dapat mengubah pola tingkah lakunya (kognitif, afektif, maupun psikomotorik), dan juga diharapkan menerapkan perubahan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari. Karena siswa hidup dalam tiga lingkungan sosial yang berbeda, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat, termasuk kelompok sebaya.

2.             Pendekatan Multiple Intelligence
Konsep dasar Multiple Intelligence diungkapkan oleh Howard Gadner dalam bukunya “Frames of Mind: yang berbunyi “our culture defined intelligence too narrowly” merupakan dasar pemikiran munculnya teori Multiple Intelligence. Ia memandang bahwa ruang lingkup potensi manusia melebihi skor IQ dan tidak terbatas hanya pada kemampuan memecahkan masalah dan menghasilkan produk. Dalam perspektif pragmatis, konsep inteligensi mulai kehilangan unsur mistisnya dan menjadi lebih fungsional. Gadner (Thomas Amstrong. 1994) telah melakukan pemetaan kemampuan manusia ke dalam tujuh kategori intelegensi yang lebih komprehensif yaitu:
a.             Kecerdasan bahasa adalah kapasitas penggunaan kata-kata secara efektif baik secara lisan maupun tulisan. Kecerdasan bahasa meliputi  kemampuan memanipulasi struktur bahasa, atau bunyi bahasa, makna bahasa, dan penggunaan bahasa.
b.             Kecerdasan matematika-logika adalah kapasitas menggunakan angka secara efektif.
c.             Kecerdasan pemahaman ruang adalah kemampuan mengamati ruang dan visual secara akurat serta melakukan transformasi terhadap persepsi.
d.             Kecerdasan kinestetik adalah kemampuan menggunakan anggota tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan dan menggunakan tangan untuk mentransformasi sesuatu.
e.             Kecerdasan musikal adalah kapasitas untuk merasakan, membedakan, mentranformasikan, dan mengekspresikan satu bentuk musik yang meliputi kepekaan terhadap ritme, melodi, dan suara musik.
f.              Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan membedakan suasana hai, motivasi dan perasaan orang lain.
g.             Kecerdasan intrapersonal adalah pengetahuan tentang diri dan bertindak secara adaptif atas dasar pengetahuan.

Banyak orang yang menilai bahwa kualitas musikal, pemahaman ruang, dan kinestetik sebagai bakat, namun gadner secara teoritik menyebutnya sebagai intelegensi alasannya adalah agar lebih provokatif. Menurut Thomas Amstrong (1994) klaim Gadner ini didukung oleh delapan faktor yaitu:
a.             Isolasi potensi karena kerusakan otak,
b.             Adanya individu yang luar biasa,
c.             Perbedaan jalur perkembangan,
d.             Adanya evolusi sejarah,
e.             Temuan dari psikometrik,
f.              Dukungan dari psikologi eksperimental,
g.             Adanya “core operation
h.             Adanya proses pengkodean sistem simbolik

Hal yang penting tentang teori Multiple Intelegence ialah:
a.             Setiap individu memiliki ketujuh inteligensi yang unik,
b.             Individu mengembangkan masing-masing inteligensinya sesuai dengan tingkat tingkat perkembangan,
c.             Masing-masing inteligensi saling memiliki keterkaitan menjadi sistem yang kompleks,
d.             Terdapat beragam cara untuk menjadi inteligen dalam setiap kategori inteligensi.

Multiple Intelligence dan Pengembangan Kurikulum menurut Goodland (Thomas Amstrong, 1994) kebanyakan aktivitas kelas berfokus pada: “worksheet” dan “workbook”. Dalam konteks ini keberadaan teori multiple intelligences dapat memperbaiki proses pengajaran yang berfokus pada satu sisi sekaligus sebagai “metamodel” untuk mengorganisasikan dan mensintesis semua inovasi pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Jean Jacques Rousseau bahwa “the child must learn not through word,but  trough experience, not through books but throught book of life.”
Teori multiple intelligence pada dasarnya menekankan hal terbaik yang dapat dilakukan guru di kelas. Teori multiple intelligence memberikan pedoman kepada guru dalam memilih metode mengajar yang terbaik disertai prosedur pengembangannya yang melibatkan unsur metode, materi, dan teknik mengajar.
Kegiatan yang dilakukan atau tidak dilakukan dalam menerapkan teori multiple intelligence jangan dipandang secara kaku. Teori ini dapat diimplementasikan pada konteks pengajaran dalam arti luas mulai dari pengajaran yang beradegan tradisional sampai pada lingkungan belajar terbuka yang ditandai oleh adanya kebebasan siswa untuk mengatur sendiri proses belajarnya. Pengajaran tradisional dapat dirancang untuk menstimulasi ketujuh intelegensi dengan menggunakan prinsip multiple intellegence, misalnya menekankan pada irama (musikal), melukis gambar (pemahaman ruang), membuat bahasa tubuh (kinestetik), memberikan peluang kepada siswa untuk melakukan refleksi (intrapersonal), dan meminta siswa bertanya (interpersonal).
Pendekatan terbaik untuk mengembangkan kurikulum berbasis multiple intellegence adalah “bagaimana menterjemahkan materi pelajaran dari inteligensi ke inteligensi yang lain”. Ada tujuh langkah yang harus ditempuh dalam mengembangkan kurikulum yang berbasis teori multiple intelligence, yaitu:
a.             Fokuskan topik atau tujuan khusus, tetapkan apakah tujuan berskala besar (untuk jangka panjang), atau bertujuan khusus (mendorong rencana pendidikan siswa secara individual). Tujuan harus dinyatakan secara jelas dan singkat.
b.             Munculkan pertanyaan multiple intelligence.
c.             Pertimbangkan segala kemungkinan, pikirkanlah metode dan materi yang tepat bahkan tidak tepat.
d.             Curah pendapat, kemukakan segala gagasan yang ada dalam pikiran dan usahakan satu ide untuksatu intelligensi kemudian konsultasikan dengan kolega untuk membantu menstimulasi pikiran.
e.             Pilihlah aktivitas yang cocok, setelah semua gagasan lengkap maka tentukan pendekatan yang benar-benar operasional dalam adegan pendidikan.
f.              Kembangkan urutan tindakan dengan menggunakan pendekatan yang telah dipilih rancanglah rencana pelajaran dan tetapkan alokasi waktu untuk setiap hari pelajaran.
g.             Implementasikan rencana, kumpulkan materi yang dibutuhkan, pilihlah waktu yang tepat dan kemudian laksanakan rencana belajar. Modifikasi dapat dilakukan selama proses implementasi strategi.

Meskipun pengajaran yang berorientasi keterampilan akademik memberikan kepada siswa kompetensi yang bermanfaat bagi pendidikan selanjutnya, namun para pendidik harus beralih pada model pengajaran yang merupakan tiruan atau cermin dari kehidupan sebenarnya, model tersebut adalah model tematik.
Model tematik yang dikembangkan oleh Susan Kovalik (Thomas Amstrong, 1994) berpatokan pada perspektif waktu, misalnya semesteran. Tanpa mengabaikan waktu, teori multiple intelligence dapat menjadi pedoman dalam menstruktur kurikulum tematik dan pengembangan aktivitas yang dapat menstimulasi ke tujuh inteligensi. Esensinya adalah pengajaran harus didasari oleh keinginan untuk mengembangkan kemampuan dibalik inteligensi sehingga setiap siswa memiliki peluang berhasil di sekolah.
Multiple Intelligence dan Strategi Pengajaran, Teori multiple intelligence memberikan peluang kepada guru untuk mengembangkan pengajaran yang lebih inovatif dalam pendidikan. Logikanya adalah tidak ada strategi pengajaran yang baik untuk semua siswa dan semua waktu. Karena ada prinsip perbedaan individual, maka guru dituntut untuk menggunakan strategi pengajaran yang sesuai dengan kondisi siswa. Berikut ini dikemukakan beberapa strategi pengajaran yang dapat diadaptasi oleh guru dalam konteks multiple intelligence, yakni:
a.             Strategi pengajaran untuk intelligence bahasa. Ada lima strategi pengajaran untuk intelligensi bahasa, yaitu:
1)             Bercerita, secara tradisional bercerita dipandang sebagai hiburan, namun dapat dijadikan alat untuk pengajaran matematika dan sainsatau IPA.
2)             Curah pendapat, secara teknis adalah semua siswa diminta untuk mengemukakan ide yang ada dalam pikirannya tanpa ada kritik, kemudian dicatat di papan tulis dan dikelompokkan, seterusnya siswa diminta untuk merenungkan ide masing-masing.
3)             Tape recording, bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan bahasa siswa, membantu menggunakan keterampilan verbal, danmengembangkan ide, memecahkan masalah dan mengekspresikan perasaan.
4)             Menulis jurnal, siswa diminta untuk menulis jurnal pribadi tentang pengalaman, perasaan, literatur yang dilengkapi dengan foto, dialog sketsa, dan data non-verbal.
5)             Publikasi,siswa menulis pikiran dan pengalamannya di majalah, surat-kabar, buletin dan sebagainya.
b.             Strategi pengajaran untuk Inteligensi Matematika dan Logika. Ada lima strategi pokok pengajaran untuk inteligensi logika dan matematika, yaitu:
1)             Kalkulasi dan kuantifikasi, dapat dilakukan tidak terbatas pada pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan namun juga pada ilmu sosial. Tujuannya adalah meningkatkan logika siswa dan membuktikan bahwa matematika tidak hanya di kelas tetapi dalam kehidupan.
2)             Klasifikasi dan kategorisasi, tujuannya adalah suatu informasi yang berbeda dapat diorganisasikan ke dalam ide pokok atau tema sehingga lebih mudah untuk diingat, didiskusikan dan dipikirkan.
3)             Pertanyaan sokratik, guru berperan sebagai pemberi pertanyaan dan berdialog dengan siswa untuk menguji kejelasan, akurasi, koherensi, atau relevansi jawaban siswa. Tujuannya adalah untuk mempertajam keterampilan berfikir.
4)             Heuristik, bertujuan untuk membantu siswa membentuk peta logika melalui proses analogi sehingga dapat membantu mengenal masalah akademik yang baru atau asing.
5)             Berfikir sains, tujuannya membantu siswa untuk dapat berpikir ilmiah dan sistematis.
c.             Strategi pengajaran untuk Kecerdasan Pemahaman Ruang. Kecerdasan pemahaman ruang merupakan respon terhadap gambar. Ada lima strategi pokok pengajaran kecerdasan pemahaman ruang, yaitu:
1)             Visualisasi, merupakan cara termudah untuk membantu siswa menterjemahkanbuku dan materi pelajaran ke dalam gambar dan citra. Aplikasi strategi ini adalah meminta siswa untuk membentuk “inner blackboard” dalam pikirannya.
2)             Isyarat warna, menggunakan beragam warna sebagai “color code” untuk menentukan materi yang menjadi prioritas, klasifikasi dan petunjuk jawaban.
3)             Gambar metafora, digunakan untuk mengekspresikan ide melalui citra visual. Tujuannya melihat hubungan antara materi yang telah dipelajari, kunci untuk konsep yang harus dikuasai siswa.
4)             Sketsa ide, digunakan untuk membantu siswa mengungkapkan pemahaman terhadap pelajaran. Caranya adalah meminta siswa untuk menggambarkan pokok pikiran, ide utama, tema sentral dan konsep inti yang dipikirkan.
5)             Simbol grafis, teknisnya adalah guru menuliskan kata dan melukis gambar di papan tulis.
d.             Strategi pengajaran untuk Kecerdasan Kinestetik. Strategi berikut bertujuan untuk mengintregasikan aktivitas kinestetik ke dalam pelajaran matematika, membaca dan sains. Ada lima strategi pokok yang dapat digunakan, yaitu:
1)             Jawaban tubuh, caranya guru meminta siswa untuk merespon intruksi guru melalui gerakan anggota tubuh sebagai media ekspresi.
2)             Teater kelas, guru meminta siswa mendramatisasikan atau bermain peran terhadap teks, masalah atau materi pelajaran.
3)             Konsep kinestetik, caranya adalah mentransformasikan informasi dari simbol logika atau bahasa menjadi ekspresi kinestetik, misalnya melalui pantomim.
4)             Pengalaman sendiri, caranya adalah melibatkan siswa dalam eksperimen di laboratorium atau memanipulasi satu objek.
5)             Peta badan, caranya guru menggunakan anggota badan sebagai alat mentransformasikan domain pengetahuan, misalnya penggunaan jari untuk menghitung.
e.             Strategi pengajaran untuk Kecerdasan Musikal. Strategi ini akan membantu mengintegrasikan musik ke dalam kurikulum. Strategi tersebut, yaitu:
1)             Irama, lagu, nyanyian, ketukan; cara yang paling sederhana adalah mengeja kata-kata dengan irama.
2)             Diskografis, guru mengaitkan materi dengan lagu tertentu dan setelah itu siswa diminta untuk mendiskusikan lagu tersebut.
3)             Musik supermemori, adalah pengajaran materi yang dilatarbelakangi oleh alunan musik dan dapat lebih lama diingat.
4)             Konsep musik, nada musik dapat digunakan sebagai alat untuk mengekspresikan konsep, bagian dan skema dengan mata pelajaran, misalnya penggunaan nada untuk menggambar bangunan.
5)             Musik suasana hati, adalah menggunakan lagu atau suasana emosi untuk pelajaran tertentu, misalnya musik klasik dan kontemporer.
f.              Strategi pengajaran untuk Kecerdasan Interpersonal. Berikut ini akan dikemukakan strategi yang dapat membantu siswa memiliki rasa memiliki dan berhubungan dengan orang lain, yaitu:
1)             Berbagi dengan rekan sebaya, misalnya melalui ungkapan “Pandanglah teman anda dan kemukakan...” atau “kemukakan pertanyaan Anda terhadap materi yang dikemukakan”.
2)             Patung, caranya adalah merefleksikan ide, konsep, atau tujuan belajar ke dalam bentuk patung orang.
3)             Kelompok kooperatif, adalah menggunakan kelompok kecil untuk membahas materi pelajaran dan akan mempresentasikan semua spektrum kecerdasan.
4)             Permainan, dilakukan dalam konteks informal, misalnya melalui canda diskusi, melempar dadu, dan tertawa.
g.             Strategi pengajaran untuk Kecerdasan Intrapersonal. Pada kesempatan tertentu guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk merasa pribadi yang unit dan otonom. Strategi yang dapat digunakan adalah:
1)             Refleksi satu menit, caranya adalah memberikan kesempatan selama satu menit kepada siswa untuk melakukan intropeksi atau berpikir mendalam disela pelajaran atau diskusi.
2)             Koneksi personal, adalah upaya guru untuk membantu siswa mengaitkan apa yang sedang dipelajari dengan kehidupan sebenarnya
3)             Simulasi, caranya adalah guru membentuk lingkungan “as-if” atau mengajak ke lokasi kejadian yang sebenarnya.
4)             Waktu memilih, artinya guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih pengalaman belajar yang diinginkannya.
5)             Moment perasaan dan nada, guru berusaha menciptakan beragam ekspresi emosi dalam belajar.

Multiple intelligence dan manajemenkelas, kelas merupakan lingkungan lingkungan sosial kecil dan dipenuhi oleh siswa dengan beragam kebutuhan dan minat. Konsekuensinya adalah aturan, regulasi, dan prosedur merupakan infrastruktur penting dalam kelas. Teori multiple intelligence memberikan perspektif baru kepada guru dalam manajemen kelas. Berikut ini dikemukakan aplikasi teori multiple intelligence untuk menarik perhatian siswa, mengkomunikasikan aturan, membentuk kelompok, dan manajemen kelas.


Untuk menarik perhatian siswa:
a.             Strategi bahasa; menulis kata diam di papan tulis.
b.             Strategi musikal; beretepuk tangan dengan irama dan kemudian diikuti siswa.
c.             Strategi kinestetik; meletakkan jari di bibir.
d.             Strategi pemahaman ruang; menyajikan gambar kelas yang penuh perhatian.
e.             Strategi matematika; menggunakan sropwatch untuk menghitung waktu yang digunakan siswa untuk memusatkan perhatian.
f.              Strategi interpersonal; membisikkan ke telinga siswa “saatnya mulai” dan kemudian pesan berantai kepada siswa lain.
g.             Strategi intrapersonal; mulai mengajar dan biarkan siswa menyesuaikan sendiri perilakunya.

Untuk mengkomunikasikan aturan:
a.             Komunikasi bahasa; aturan yang telah ditulis ditempel di kelas.
b.             Komunikasi matematika-logika; aturan diberi nomor dan ditulis “Anda melanggar nomor...”.
c.             Komunikasi pemahaman ruang; aturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ditulis dengan simbol grafis.
d.             Komunikasi kinestetik; setiap aturan memiliki bahasa tubuh khusus dan siswa mengikuti setiap bahasa tubuh berbeda.
e.             Komunikasi musikal; aturan dirancang menjadi satu lagu atau setiap aturan terkait dengan lagu tertentu.
f.              Komunikasi interpersonal; setiap kelompok ditentukan orang yang bertanggung jawab dalam menafsirkan, mengetahui dan memperkuat aturan.
g.             Komunikasi intrapersonal; siswa diberi kebebasan untuk menciptakan aturan pada saat awal sekolah dan cara mengkomunikasikannya.

Untuk membentuk ruang:
a.             Strategi bahasa; pikirkan huruf vokal pada awal nama masing-masing, kemudian keliling ruang dan temukan tiga sampai empat orang yang sama vokalnya.
b.             Strategi matematika-logika; “saat diberi tanda, saya ingin kalian mengangkat antara satu dan lima jari dengan tiga atau empat orang yang mengangkat jari yang merupakan kombinasi total lima belas”.
c.             Strategi pemahaman ruang; “cari tiga atau empat orang yang memiliki warna pakaian sama dengan anda”.
d.             Strategi kinestetik; “mulai melompat dengan satu kaki...sekarang cari tiga atau empat orang yang melompat dengan kaki yang sama”.
e.             Strategi musikal; “lagu apa yang Anda ingat? Catat di papan tulis, kemudian kamu mencatat lagu yang akan saya bisikkan, dan kemudian saya minta Anda menyanyikan lagu tersebut dan temukan orang yang menyanyikan lagu yang sama”.

Untuk manajemen perilaku individual:
a.             Metode disiplin dengan bahasa; berbicara dengan siswa, memberikan buku yang memuat masalah, membantu siswa menggunakan “self-talk” untuk mengendalikan diri, bercerita tentang hal yang berkaitan dengan disiplin.
b.             Metode matematika-logika; menggunakan pendekatan logika konsekuensi, menunjukkan jumlah dan bagan pelanggaran perilaku dan perilaku positif.
c.             Metode pemahaman ruang; memberikan siswa gambar atau visualisasi perilaku yang tepat, menggunakan metafora, menunjukkan slide atau film tentang model perilaku yang baik.
d.             Metode kinestetik; bermain peran tentang perilaku yang tepat dan tidak tepat, mengajarakan siswa menggunakan isyarat tubuh mengatasi situasi stres.
e.             Metode musik; mencari musik yang sesuai dengan masalah yang dihadapi siswa, memberikan musik yang dapat merefleksikan perilaku yang tepat, mengajar siswa dengan memainkan lagu favorit dalam pikiran ketika mereka kehilangan kendali.
f.              Metode interpersonal; konseling rekan sebaya, menyesuaikan siswa dengan model peran, memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengasuh anak kecil, memberikan kesempatan siswa untuk memamerkan energinya.
g.             Metode intrapersonal; konseling individual, kontrak perilaku, memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan yang paling menarik minat, memberikan aktivitas untuk meningkatkan harga diri.


BAB III
PENUTUP

A.            Kesimpulan
Pendekatan pembelajaran pada hakikatnya merupakan kerangka acuan yang dianut seorang guru dalam praktek pembelajaran yang dilakukan melalui pengorganisasian siswa dan pengolahan pesan untuk mencapai sasaran belajar berupa peningkatan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor serta kepribadian siswa secara keseluruhan.
Pendekatan Holistik atau terpadu dalam pembelajaran, diilhami oleh Psikologi Gelstalt yang dipelopori oleh Wertheimer, Koffka, dan Kohler. Menurut mereka, objek atau peristiwa tertentu akan dipandang oleh individu sebagai suatu keseluruhan yang terorganisasikan. Aplikasi, teori Gestalt dalam pendekatan pembelajaran antara lain adalah dalam hal-hal sebagai berikut (Moh.Surya, 1999): pengalaman memahami (insight), pembelajaran yang bermakna (meaningful learning), perilaku bertujuan (purposive behavior), prinsip ruang hidup (file space), dan transfer dalam pembelajaran.
Para penganut kontruktivisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah merupakan kontruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada di sana dan orang tinggal mengambilnya tetapi merupakan suatu bentukan terus-menerus dari seseorang yang setiap kali mengadakan reorganisasi karena munculnya pemahaman yang baru (Paul Suparno, 1977).
Kontruktivisme meletakkan kebenaran dari pengetahuan dengan viabilitisnya, yaitu berlakunya konsep atau pengetahuan itu dalam penggunaan. Semakin dalam dan luas suatu pengetahuan dapat digunakan, semakin luas kebenarannya. Dalam kaitan ini maka pengetahuan tarafnya, mulai dari yang berlaku secara terbatas sampai yang lebih umum sehingga pengetahuan itu ada batasnya.
Von Glaserfeld membedakan tiga level pengetahuan dan kenyataan, yakni hipotetik, dan kontruktivisme yang biasa. M. solehuddin (1999) merumuskan sejumlah pemikiran yang memungkinkan aktivitas belajar anak SD lebih bermakna dengan menerapkan prinsip konstruktivisme.
Dengan mengacu kepada pendapat Walter dan Marks (1981), Wisnubrata selanjutnya mengemukakan definisi lain yaitu:
Experiental learning merupakan suatu urutan peristiwa satu atau lebih tujuan belajar yang ditetapkan, yang mensyaratkan keterlibatan siswa secara aktif pada salah satu hal yang dipelajari dalam urutan itu. Pelajaran disajikan, diilustrasikan, disoroti, dan didukung melalui keterlibatan siswa. Prinsip utama experiental learning ini adalah seseorang belajar paling baik apabila ia melakukannya.”
Menurut Hendrojuwono, pelaksanaan experiental learning meliputi lima tahapan, yaitu: tahap pengantar, tahap debriefing, tahap rangkuman, dan tahap evaluasi.
Salah satu perubahan yang paling sederhana dan paling jelas serta berterus terang dalam experiental learning adalah melalui umpan balik. Umpan balik yang digunakan dalam experiental learning ini bertujuan untuk memperoleh kompetensi (kesanggupan) untuk memberi dan menerima secara wajar, bukan sebagai upaya terapi. Siswa dianggap sebagai individu yang sadar, terbuka, dan mempercayai orang lain. Berarti umpan balik yang dipertukarkan harus jelas, tidak bersifat evaluatif, dan dapat diuji langsung.
Konsep dasar Multiple Intelligence diungkapkan oleh Howard Gadner dalam bukunya “Frames of Mind: yang berbunyi “our culture defined intelligence too narrowly” merupakan dasar pemikiran munculnya teori Multiple Intelligence. Ia memandang bahwa ruang lingkup potensi manusis melebihi skor IQ dan tidak terbatas hanya pada kemampuan memecahkan masalah dan menghasilkan produk.
Gadner (Thomas Amstrong. 1994) telah melakukan pemetaan kemampuan manusia ke dalam tujuh kategori intelegensi yang lebih komprehensif yaitu: kecerdasan bahasa, kecerdasan, matematika-logika, kecerdasan pemahaman ruang, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan intrapersonal.


B.            Saran
Sebagai calon guru hendaknya kita memilih menggunakan pendekatan pembelajaran model seperti apa, usahakan untuk mengetahui kebutuhan yang cocok untu berbagai macam karakteristik siswa, dan jangan memaksakan menggunakan pendekatan pembelajaran namun bertentangan dengan realita siswa. Sehingga dapat dicapai hasil belajar siswa yang memuaskan.

 
DAFTAR PUSTAKA

Endra Maulana. (2014). Dunia Informasi Pendidikan Teraktual. (Online).
(http://www.informasi-pendidikan.com/2014/01/pengertian-pendekatan.html?m=1, dikunjungi 4 November 2013).
Mikarsa, H.L, dkk. (2005). Pendidikan Anak Di SD. Jakarta:Universitas Terbuka.







Tidak ada komentar: